Tiga Puluh

Gimana ya, aku sih ngerasanya udah nggak punya pacar lagi. Ethan nggak pernah lagi menghubungiku. Entah apa maksudnya.

Dia datang ke kehidupanku. Mendekatiku. Merayu. Lalu jadian. Untuk akhir yang seperti ini. Seperti sepah aku merasa dibuang begitu saja.

"Nggak usah mellow gitu. Ke salon aja yuk. Gue temenin deh." Valyra menawarkan penghiburan ala perempuan metropolitan. Nyalon. Belanja. Untung dia nggak nawarin ke Echidna atau Nemesis. Biar kata gila, seumur hidup aku belum pernah menyentuh alkohol. Takut salatnya nggak diterima selama 40 hari. Padahal ibadah juga aku masih bolong-bolong. Cuma MIS. Alias Magrib, Isya, Subuh.

"Masa jam segini mau ke salon?" Imelda menimpali. "Terus dandan buat siapa dong?"

"Buat siapa kek!" Valyra agak sewot. "Emang elo kagak punya gebetan apa?"

"Gebetan sih ada." Imelda mengibaskan rambutnya yang dimodel mirip Lily Rose- Deep. Warnanya juga sudah nggak hitam lagi. Melainkan Brunette. Aku hanya mengamati tiga orang yang ujuk-ujuk masuk ke ruanganku di saat semua penghuni kantor udah pada cabut pulang ke rumah masing-masing. Menyisakan diriku seorang diri yang menyedihkan ini.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Beberapa hari ini aku memang  sengaja melembur. Supaya nggak mengingat- ingat kejadian di mal waktu itu. Supaya  nggak ingat tentang Ethan. Supaya nggak nangis sambil maraton film India. Atau bolak-balik dengerin Save Your Tears punya The Weeknd yang duet sama  Ariana Grande. Sama Hati-hati Di Jalan-nya Tulus. Huhuhu.

Rasanya jadi pedih banget sih. Walau aku sudah pernah punya pengalaman tentang itu. Ditinggalkan Mas Wicak empat tahun yang lalu rupanya jadi latihanku buat saat ini.

Hikmahnya aku jadi lebih bisa menahan diri buat nggak ngirim foto itu lalu bikin drama. Aku nggak mau kelihatan merana sendirian. Tapi sekarang ini aku nggak tahu harus berbuat bagaimana.

"Obat patah hati yang paling manjur itu adalah cari gebetan lagi."

"Nggak oke!" Imelda menyahut.

"Kenapa enggak oke?"

"Cowok itu cuma bikin masalah."

"Kayak lo pernah punya cowok aja!"

"Gue emang nggak pernah punya cowok. Cukup gebetan aja. Bikin pusing." Imelda bergaya seperti seorang feminis sejati. "Gini ya, Mbak Dhea. Mendingan pergi ke salon. Dandan yang cakep. Update foto-foto cakep di IG. Siapa sih yang nggak ngiler liat cewek cantik?"

"Termasuk anjing dong?"

Kami jadi tergelak bersamaan. Punya banyak teman memang begini untungnya. Kalau lagi sedih, mereka mendukung dan selalu ada buat kita. Sayang banget Davinsha nggak ada di sini. Kalau ada dia, aku bisa curhat habis-habisan. Walau sebenarnya aku punya Syahid juga sih. Dia pasti nggak bakalan keberatan menjadi tong sampahku seperti selama ini.

Tapi kadang kalau lagi nyebelinnya kumat, Syahid itu bisa lebih parah dari Sivan.

Mana belakangan dia cerita tentang ibunya yang terus-menerus telepon dan meminta Syahid pulang ke Solo buat ketemu sama cewek yang mau dijodohkan sama dia. Sementara cowok itu sebenarnya sudah naksir sama seorang perempuan yang kerja sebagai guru les privat.

Jadi kesimpulannya adalah aku hanya bisa bergalau ria dengan para ladies.

**

Hari Sabtu aku memang pergi ke salon bareng Kalyana, Valyra, dan Imelda.

Salon langganan mereka terletak di pusat  perbelanjaan di kawasan Kebayoran Baru. Yang punya itu seorang Queer. Tubuhnya mungil dan mengenakan gaun selutut yang cantik berwarna mint. Penampilannya jauh lebih anggun ketimbang kami berempat.

Rambutnya panjang, indah bergelombang mirip model iklan shampo. Tapi berewokannya yahud banget. Mirip Conchita Wurst.

Namanya Jesse Norman. Biasa  dipanggil Jessie oleh para pelanggan salon. Dan Kalyana, Valyra, serta Imelda memang udah akrab dengan ... apa ya nyebutnya. Laki bukan. Perempuan bukan. Dia lebih cantik ketimbang perempuan tulen. Tapi punya berewok. Hmmm.

"Jessie, garap dia sampai mulus!" Valyra berkata dengan cara yang mirip banget sama biang gosip di televisi.

Aku berjengit ketika lelaki ... engg ... apa ya sebutannya? Pokoknya si Jessie - Jessie ini mulai meraih rambutku yang memang sudah nggak jelas apa potongannya. "Lepek amat, Jeung! Jarang keramas?" Ia menatap ragu pada helaian rambutku.

"Iya tuh. Jomlo sih. Jadi jarang keramas!" Kalyana nyeletuk sambil cuek membuka-buka majalah Harper's Bazaar.

"Ih kesiaaan!" Jessie bergidik.

Aku? Jangan ditanya. Rasanya sudah mau kabur saja. Bukannya aku homofobik atau anti banci atau apa pun bahasanya. Tapi geli aja gitu loh dengar dia ngomong kayak gitu.

Malah sebenarnya aku kagum dengan kecantikannya yang luar biasa itu. Aku sampai ternganga dibuatnya. Dari sikapnya, gerak-geriknya, sampai caranya mengerling benar-benar sudah menyerupai seorang wanita. Bahkan sepertinya dia lebih luwes dari kami-kami yang cewek tulen ini.

"Jangan takut. Aku enggak gigit kok. Setidaknya enggak sama cewek. Aku masih doyan sama hot dog kok," tatapannya memaku mataku di cermin. Hmmm. Aku memejamkan mata.

"Ih, Jeung, temen jij ini lucuk juga ya. Polos- polos gemesin. Cobak kalok aku yang jadi cowoknya! Uh, nggak bakal aku kasih dia keluar kamar deh. Aku bakalan .... Eunggmmmhh ... apa yah nyebutnya yang enggak terlalu vulgar gitu?"

Caranya menatap Valyra dan Kalyana dengan mata sayu- sayu gimana gitu. Mana pakai acara gigit bibir segala!  Macam orang lagi horny.

"You mean a fuck?" Valyra mengangkat sebelah alisnya.

"Yeah. That's it." Telunjuknya mengarah ke Valyra. "I wanna fuck... Uh her .... Sampai lumpuh."

Puih. Rasanya aku panas dingin. Yang ada di kepalaku jelas bukan Jessie. Melainkan sosok lain yang sudah empat hari ini sama sekali nggak ingat buat menghubungiku.

Yah walau aku lagi ngambek sih. Tapi perempuan mana sih yang nggak berharap dihubungi sama pasangan? Yah aku juga sekarang jadi ragu.

Sebenarnya hubungan kami ini apa? Kalau memang pacar, kenapa setelah jadian komunikasi kami jadi semakin parah begini? Dulu, sebelum dia ngomong kalau dia ingin menjalin hubungan denganku, aku sampai bosan lihat chat dia di aplikasi WhatsAppku.

Sekarang aku mirip janda yang ditinggal perang. Harap-harap cemas setiap hari mandangin ponsel .  Berharap Ethan menghubungiku atau apalah. Bukannya jadi nggak jelas begini statusnya. Parah.

**

Jessie meski begitu, tetapi hasil kreasi tangannya nggak kaleng-kaleng. Rambutku yang tadinya lepek dan nggak jelas modelnya itu, sekarang jauh lebih bervolume. Dipotong pendek model Bob yang menonjolkan wajah tirusku. Kini look ku menjadi lebih segar dan lebih muda.

Setelah selesai dari The Dusty Pink, nama salon Jesse Norman, seperti sinetron -sinetron remaja zaman dulu, aku digeret masuk butik yang ada di mal tersebut . Menurut Imelda semua koleksi pakaianku hanya cocok digunakan untuk pergi ke upacara pemakaman.

Jadi mereka memilihkan beberapa warna yang cerah  dan model  cocok buatku. Padahal kami ini bekerja di semacam departemen store juga. Tapi masih doyan berburu baju di tempat lain. Sekalian cuci mata.

"Idih ginian mahal banget yak!" Valyra mengangkat kemeja warna kuning kunyit. "Di Ranjana udah diskon tiga puluh persen kan?"

"Nggak usah katro gitu. " Imelda mencibir. Karena kebetulan di butik itu sedang ada banyak pengunjung. Masuk butik mahal tapi masih sempat-sempatnya banding- bandingin harga sih sama dengan bikin malu diri sendiri.

"Belum lagi kalo dapet potongan harga karyawan."

"Eh mulut ngana tolong yang sopan!" Imelda nyaris mendesis kali ini. Cuma Kalyana dan aku yang tetap kalem.

"Mbak Dhea!"

Serempak kami semua menoleh. Butik yang kami datangi ini memang tergolong ekslusif. Jadi aku sebenarnya nggak perlu kaget kalau menemukan Shea berkeliaran bersama ....

"She?" alisku menukik tajam. Shea nggak sama Jana atau Kokonya yang nyebelin itu. Tapi seorang cowok jangkung. Kerempeng, dan ganteng sih. "Sendirian? Nggak sama Jana?

"Enggak." Dia melirik ragu-ragu ke arah lelaki di sampingnya yang rambutnya dipotong jabrik. Kalau menurutku, mereka ini nggak seumuran. Minimal si cowok ini pasti sudah mahasiswa tingkat akhir lah.

"Masa ngedate bawa-bawa Mbak Jana?" wajahnya tersipu. "Eh, ya. Kenalin. Ini namanya Rey. Rey, ini Mbak Dhea. Calon istrinya Koko."

Disebut sebagai calon istri Koko, giliran mukaku yang panas. Sementara tiga perempuan sableng itu mulai heboh berdeham. "Calon istrinya Koko?"

Emang mulutnya Imelda minta dicabein banget. Seenaknya saja nyelonong nimbrung masuk ke obrolan orang! "Koko siapa nih?"

"Koko aku. Koko Ethan."

"Oh, Koko HRV itu?"

"Koko emang demennya HRV. Dia sampai beli dua warna. Hitam ama putih."

"She, udah deh. Nggak usah Lo ladenin mereka!" aku mulai sepaneng juga sekarang. "Pada sarap emang pada!" aku menggerutu.

Dasar mulutnya pada nggak ada akhlak banget. Tapi berkat mulut-mulut itu, nyaris seharian ini aku hanya dua kali kepikiran si Ethan.

"Oh begitu."

Aku mengulurkan tangan ke arah Rey. Dia membalas jabatan tanganku dengan mantap. Ketiga temanku ikut maju dan berkenalan. Tapi entah mataku yang siwer atau memang cowok itu hampir ngiler ketika berhadapan dengan Valyra yang mengenakan crop top yang memperlihatkan perut ratanya yang dipadukan dengan low rise jeans. Sejak tadi, semua mahluk berjakun yang ada di mal memang terang-terangan menatap Valyra dengan sorot mendamba.

"Mbak Dhea, untung Mbak Dhea ada di sini. Nanti aku pulangnya nebeng mbak boleh kan? Soalnya Rey habis ini ada janji sama temen-temennya."

Tanpa banyak pertimbangan, aku langsung mengangguk. Bukan karena apa-apa. Melainkan karena sebaiknya aku menjauhkan Shea yang sesuci domba persembahan itu dari serigala seperti Rey.

***

"Tadinya aku pergi sama Tisha. Temen sebangkuku di sekolah dulu. Tapi karena udah janjian sama Rey dulu, jadi aku nggak minta Pak Soleh atau Mbak Jana nyusul. Lagian kan dia ngurusin proposal skripsi."

Ditemani Let's Get Started It  milik Black Eyed Peas, mobil yang kukemudikan membelah jalanan Jakarta. "Jadinya kamu janjian sama Rey di mal?"

Dia mengangguk malu-malu. "Mbak Dhea nggak akan bilang ini ke Koko kan? Soalnya Koko nggak suka dia."

Aku manggut-manggut saja. Meski agak takjub karena kupikir Shea ini tipe gadis yang nggak akan berbuat kenakalan semacam ini. Diam- diam ketemuan sama gebetan di luar rumah. Walau usianya sudah bisa dibilang cukup dewasa.

"Ya ngapain aku pake ngadu-ngadu segala sih, She." Ujarku menghela napas panjang. "Jarang ketemu ini."

"Oh," dia manggut-manggut dan mengarahkan tubuhnya padaku. "Emang kalian lagi berantem?"

"Kok nanyanya gitu?"

"Soalnya belakangan ini Koko aneh banget. Pulang dinas malam banget. Tapi sering nginep di rumah. Padahal dulu mana mau. Sudah gitu kerjaannya godain aku melulu. Pokoknya dia jadi nggak jelas dan jadi gampang ngambek gitu deh. Mami ngomong apa gitu dia langsung main cabut aja. Yah kalau aku sih sebenernya kasihan tahu. Koko tuh sekarang harus dinas di tiga tempat. Intimedika, Hardjoeroekmono sama rumah sakit punya Papi. Mami bilang lepas satu aja. Fokus sama Intimedika dan Soehandojo, RS Papi itu. Tapi Koko bilang nanti-nanti lah. Tapi sekarang dia kewalahan sendiri. Ngeluh kalau cape banget."

Mendengar fakta yang baru saja dibeberkan oleh Shea, mendadak rasa marahku langsung luntur. Berganti iba dan kasihan. Aku tahu, Ethan kelihatannya memang kayak yang santai banget gitu orangnya. Tapi sebenarnya, kalau kuperhatikan, sejak dulu dia selalu mengejar yang terbaik.

"Mbak Dhea jangan marahan lama-lama sama Koko lagi, ya. Kasihan tuh dia. Lama banget ngejomlo. Dapet Mbak Dhea tuh Koko kayak dapat warisan aja. Dia jadi lebih semangat jalanin studinya kemarin itu. Hal itu yang bikin Mami sama Papi suka sama Mbak Dhea. Soalnya Mbak hawa hal positif ke hidupnya Koko."

"Aku nggak tahu, She." Aku benar-benar clueless. Seharusnya sebelum aku memikirkan yang bukan-bukan, aku cari tahu dulu kenapa hubungan kami jadi begini. Kelelahan terkadang memang jadi faktor berubahnya sikap kita sama orang lain. Bahkan sama orang terdekat. Aku saja kalau terlalu lelah dengan pekerjaan kantor, pulang-pulang bawaannya pengin ribut melulu sama Mita.

Jadi kemungkinan, dalam waktu dekat ini ingin menghubungi Ethan buat minta maaf. Yah bagaimana pun juga aku memang masih ingin mempertahankan hubungan ini. Aku masih sayang Ethan. Betapa pun menyebalkannya dia. Kini hatiku jadi lebih tenang.

**

Mobilku meluncur masuk ke pekarangan rumah orangtua Ethan, bertepatan dengan Toyota Vios yang kini meluncur di hadapanku. Yang kuherankan, Shea jadi diam seribu bahasa setelah hampir selama perjalanan pulang dia terus nyerocos tentang kehidupannya yang mulai membosankan. Keluarganya yang nggak menyukai Rey. Tentang pilihan kampus yang harus segera dia ambil sebelum ayahnya mengultimatum. Hingga memuji penampilan baruku yang menurutnya membuatku terlihat semakin fresh.

Mobilku berhenti tepat di belakang Toyota Vios itu. Berhenti sejenak menanti siapa pun yang hendak ke luar dari mobil di depanku. Dalam kepalaku, barangkali itu mobil Dokter Roosaline atau Dokter Taslim.

Akan tetapi, ketika sepasang kaki panjang berbalut celana chino dan kemeja lengan pendek warna mint, disusul wajah setampan aktor Jepang, milik Ethan, hatiku langsung kebat-kebit.

Ragu. Apakah ini saat yang tepat buat ngobrol tentang kesalahpahaman kami selama ini? Hanya saja ketika pikiranku sudah bulat untuk meminta maaf kepadanya, dari pintu pengemudi muncul heels disusul mahluk semampai bergaun putih. Dia berlari kecil menyusul Ethan. Mereka berhenti di tangga paling bawah.

Jantungku seketika mengelus. Sementara hatiku seolah sesak. Seperti dihimpit batu raksasa, ketika melihat perempuan itu  meraih lengan Ethan dan mengecup pipi kiri lelaki itu.

Aku bahkan nggak tahu, bagaimana prosesnya dan sejak kapan Shea turun dari mobil. Yang jelas, kemunculan Shea menginterupsi acara dua insan tersebut. Sementara aku merasa begitu kebas.

"She? Jam segini baru balik?"

"... sama siap... " Aku nggak lagi memperhatikan percakapan antara Shea dengan Kokonya. Kunyalakan mesin mobil. Hendak putar balik dan membuang segala omong kosong yang kurencanakan ke tempat sampah terdekat. Akan tetapi kaca mobilku sudah diketuk.

Di sana, di luar kaca mobilku, berdiri Ethan dengan wajah bersalah dan cemas yang entah mengapa sangat kubenci saat ini. Aku merasa kalah. Segala-galanya.

Dengan pasrah kuturunkan kaca mobil. Menatapnya penuh tanya. "Nggak mau masuk dulu? Entar aku anterin pulang ya?"

"Nggak perlu." Jawabku tawar. "Mendingan bantuin pinggirin itu mobil. Aku mau balik. Udah malam." Setengah mati kutahan agar suaraku nggak terdengar bergetar.

"Dhea ... Dhe, dengerin aku dulu. Aku sama Retna nggak ada hubungan apa-apa."

"Mulai sekarang aku nggak akan ngurusin kamu mau apa, Et." Kataku sedatar mungkin. "Kamu nggak pernah sekalipun coba hubungin aku. Kamu nggak pernah kasih kejelasan apa pun sama aku. Aku cuma bisa menebak-nebak kapan kamu sibuk. Kapan kamu longgar."

"Belakangan ini aku emang sibuk banget, Dhe. Aku juga sebenarnya pengin ngajakin kamu keluar makan siang. Tapi belum nemuin waktu yang cocok."

"Oh, ya?" aku tertawa sarkas. "Tapi bisa nemuin waktu yang tepat buat makan sama dia kan?" cecarku. Wajah Ethan semakin pias.

Apakah aku merasa puas? Jawabannya tidak. Meski kata-kataku membuatnya pucat pasi, namun melihat kenyataan bahwa bahkan dia nggak membela diri dari tuduhanku, aku merasa memang sudah seharusnya hubungan ini berakhir.

"Dhe ... please ..."

"No." Sambarku cepat. "Sekarang singkirkan mobil itu. Atau aku nggak akan bertanggungjawab atas apa yang terjadi kalau aku mutusin buat mengambil tindakan nekat, Ethan Arkachandra Wishnu Patria! "

"Dhe, dengerin. Kamu masuk dulu. Kita ngobrol yang enak..."

Aku tetap keras kepala. Menggeleng keras-keras, sebelum melontarkan satu kalimat yang kusadari akan membuat diriku hancur berkeping-keping. "Lebih baik kita sudahi semuanya ini, Ethan. Terbukti kita memang nggak cocok. "

Dengan penuh emosi, aku menutup kembali kaca mobil. Memundurkan mobil. Lebar jalan itu hanya cukup untuk satu mobil dan kalau mau keluar, seharusnya aku tinggal lurus lalu memutari taman di tengah-tengah. Dengan begitu aku bisa langsung meluncur mulus ke luar dari gerbang.

Dengan adanya Vios sialan itu, aku harus atret sejauh beberapa meter hingga ke luar dari gerbang. Dan meninggalkan semuanya di balik gerbang itu.

***














Comment