Dua Puluh Satu


Ethan: kamu lagi liburan bareng Ewan?

Ethan: kenapa gak bilang-bilang aku, Dhe.

Ethan: kenapa perginya harus sama Ewan?

Aku mendengus. Huh. Kenapa sudah begini saja pakai acara tanya- tanya segala. Kemarin katanya cuma teman, kan? Sekarang, kenapa teman pergi liburan sama teman yang lain jadi kayak sendirinya yang kelabakan macam kebakaran buntut begitu? Dasar orang  aneh!

Aku sengaja nggak mau membalas chat via WhatsApp itu. Biarin saja dia mau overthinking. Dasar nggak jelas. Kayak begitu saja kok sampai Pak Rasyid, Mita, sama Nilam macam yang ngefans banget. Cowok plin- plan. Gemblung. Bilangnya cuma teman. Begitu pergi sama yang lain ditanya- tanya macam aku ini terduga teroris saja.

Terserah dong aku mau pergi ke mana. Sama siapa. Dan ngapain saja. Aku kan masih lajang. Punya hak apa sih dia bilang begitu?  Kenapa pula dia yang repot sih.

Aku mengangkat bahu acuh tak acuh kemudian menyambar terusan warna kuning anak ayam sepanjang  betis tanpa lengan yang baru kubeli atas rekomendasi Ewan di pasar tadi.

Nggak sangka kalau penglihatan  Ewan soal pakaian cewek bisa ciamik begini. Selain gaun, aku juga membeli kardigan dan topi, sepatu teplek dan tas etnik lucu berwarna seperti rotan. Belum pernah aku jadi orang yang melampiaskan kekesalan dengan hasrat belanja gila- gilaan begini. Selain itu, Ewan memang tipe teman belanja yang asyik sih.

Davinsha belum sampai di apartemen ketika aku pulang. Jadi kuputuskan untuk pergi mandi. Lalu melihat- lihat isi kulkas. Ada telur, sawi, tomat, kubis, selada, wortel, daun bawang. Kuputuskan untuk membuat omelet dengan bahan seadanya karena aku lagi malas keluar. Padahal tadi sebenarnya Ewan ngajakin aku untuk berburu kuliner sebelum dia kembali ke hotel tempatnya menginap dan aku ke apartemen Davinsha.

Di Bali sudah banyak sekali makanan halal di tengah-tengah kepungan babi guling, babi genyol atau babi kecap. Jadi nggak perlu lagi worry kalau mau berwisata di pulau Dewata ini.

Aku sedang merajang semua perbawangan, ketika ponselku memekikkan lagu Decode- nya Paramore. Menggerutu, kutinggalkan talenan dan bawang- bawangan di atas kitchen island. Tanpa sadar, aku masih memegangi pisau di tangan kanan.

Kulihat layar ponsel menampilkan nama Ethan. Aku memutar bola mata. Ngapain sih ini orang pakai acara telepon- telepon segala? Nggak tahu apa orang lagi ribet!

Akhirnya, kubiarkan benda itu berdering hingga berkali- kali. Lalu kembali melenggang ke dapur dan melanjutkan kegiatan merajang bawang putih, bawang merah, bawang bombai, dan daun bawang. Semakin banyak anggota bawang- bawangan bakalan semakin enak.

Lalu benda sialan itu menjerit lagi. Aku mangkel. Tanpa kulihat lagi, kugeser ikon hijau.

Muka kuyu Ethan muncul. Aku kaget.

"Ngapain?" bentakku.

"Kamu ngapain bawa- bawa pisau kayak gitu?"

"Bukan urusanmu!"

"Kenapa kamu tiba-tiba ada di Bali? Sama Ewan pula. Kalian liburan bareng?"

"Sudah kubilang. Itu. Bukan. Urusanmu."

"Jelas itu urusanku!" dia tampak sangat frustrasi. Padahal, seharusnya aku di sini yang frustrasi menghadapinya. Sebenarnya orang ini maunya apa sih?

"Kamu mendadak ambil cuti. Tanpa pamit. Tahu- tahu udah ada di postingannya Ewan!"

Mendadak aku meradang. Emosi jiwa menghadapi situasi aneh ini. Akan tetapi aku masih berusaha untuk tetap bersikap tenang. Elegan. "Trus apa perlunya aku pakai acara izin ke kamu aku mau pergi ke mana?"

"Yaaa.... " Dia tampak kebingungan mencari- cari jawaban. "Yah .... kita kan teman."

"Nah!" Kubanting pisau ke atas meja. Dia berjengit kaget. "Itu dia!" seruku mangkel. "Itu dia! Kita cuma temen, kan? Jadi ngapain aku mesti izin ke kamu kalau mau pergi- pergi? Kita kan cuma teman, Ethan. As you said!"

Aku langsung mematikan ponsel. Lalu berlari ke dapur dan merampok seliter es krim cookie and cream punya Davinsha.

Hangus sudah mood ku sekarang. Aku sudah nggak berminat masak lagi. Kumasukkan semua bawang- bawangan yang sudah kurajang ke dalam wadah container, lalu kumasukkan ke dalam kulkas.

Untuk saat ini, aku hanya ingin duduk meringkuk di depan televisi dan makan es krim.

****

Davinsha muncul tepat pukul sepuluh malam. Ia membawa roti bakar rasa kacang cokelat dan nasi jinggo isi ayam dan sapi.

Aku yang kelaparan akibat menghabiskan energi buat marah- marah sama Ethan tadi, langsung menggasak tiga bungkus nasi. Davinsha menggeleng takjub. "Ckckck.  Lo ternyata ya badan doang yang kecil. Perut lo isinya anaconda!"

Aku hanya mendengus. Orang marah memang gampang banget jadi sensitif dan lapar. Aku hanya fokus pada makananku. Tiga bungkus nasi sudah berpindah ke dalam lambungku. Tapi aku masih manyun.

Rasanya semacam masih ada yang mengganjal di dadaku. Mendadak aku berubah gelisah dan mulai menggigiti kuku. Kemudian melipat kedua tangan lalu bangkit berjalan ke kamar. Davinsha memilih diam saja dan hanya mengawasiku.

Aku kembali menyalakan ponsel dan sesuai dugaanku, banyak berondongan pesan dari Ethan, Mita, Yunita, Dina, Agnia.

Aku membuka pesan dari Ethan terlebih dahulu. Isinya hampir sama dengan pesan yang tadi dikirimkan padaku. Bertanya- tanya apa aku punya hubungan dengan Ewan?

Uh, aku nggak habis pikir dengan sikap Ethan yang seperti ini. Belakangan ini dia rajin banget datang ke rumah. Terus sok bawa- bawain bekal segala. Lalu pas kemarin pergi bareng ke mal buat ketemuan sama Shea, dia jelas- jelas kayak ngeliatin asisten adiknya itu. Dan begitu kutinggal minggat, kelakuannya begini.

Ini sebenarnya, siapa yang aneh. Aku sih jujur saja ya, hatiku memang sudah mulai kebuka. Dia sudah kerap kujutekin tapi nggak mempan. Salah siapa kalau aku jadi baper. Setelah aku baper kemudian dia menatap Jana seperti mereka punya rahasia berdua.

Tapi kalau sudah ketahuan begitu, aku nggak mungkin meneruskan harapanku padanya kan? Wajar kalau aku move on. Bukan berarti juga aku mau cari pelarian ke orang lain. Dalam hal ini sebut saja Ewan orangnya.

Enggak. Aku nggak mau menjadikan Ewan sebagai rebound partner. Aku bukan tipe perempuan yang langsung nemplok ke cowok lain begitu sakit hati sama satu cowok. Jujur saja kayak begitu itu jauh lebih menyedihkan ketimbang jadi jomlo waktu ketemu mantan. Seolah-olah kita butuh pembuktian kalau kita sudah bahagia dengan menggandeng cowok baru. Yang belum tentu juga bakalan lebih baik dari yang lama.

Ini sih memang aku seharusnya bikin perhitungan sama Ethan. Menanyakan dengan jelas dan terang  apa tujuan lelaki itu bersikap demikian membingungkan padaku.

****

"Kemarin itu mau bikin omelet. Tapi ada gangguan." Aku menggerundel sambil memasukan bawang-bawangan serta sayur seperti kubis dan wortel ke dalam enam butir telur kemudian kukocok lepas menggunakan balloon whiskers dengan tenaga penuh.

Davinsha yang berdiri di sampingku dalam balutan tank top hitam dan celana superpendek melipat kedua tangannya seperti seorang guru Tata Boga yang sedang mengawasi muridnya. "Siapa pengganggu ini?" tanyanya. Ada nada ingin tahu dari suaranya. Tapi ia nggak kedengaran ingin memaksa. "Apakah cowok itu? Yang cium sahabat lo di aula sekolah?"

Aku mengangguk. Masih fokus mengocok telur.

"Oh. Belum kelar masalahnya?"

"Habis dia pakai acara nanya- nanya segala! Kan gue jadi bete!"

"Nanya- nanya yang gimana dulu nih? Siapa tahu aslinya dia peduli sama lo."

"Yeah," gumamku. Lalu memutar kenop kompor enam tungku canggih milik Davinsha. Salah ding, ini kan fasilitas perusahaan. Davinsha tinggal pakai doang sih. "Dia memang perhatian." .

"So?"

"Ya itu dia. Bilangnya tapi cuma teman!"

"Jadi dia perhatian sama lo tapi bilangnya karena kalian teman? " Davinsha ketawa ngakak. "Sori, tapi kok kayaknya memang hubungan kalian itu nggak masuk akal banget ya?"

"Nah, bingung sendiri kan?" Aku menuang telur ke atas wajan antilengket yang minyaknya sudah nendidih itu.

"Kenapa nggak diblok saja nomornya. Habis perkara!"

"Entar gue dibilang baperan lagi. Repot!" dengusku.

"Kata lo kemarin dia masih residen obgyn kan?"

Aku mengangguk. "Tapi keluarga dia tajir sih."

"Kan itu keluarganya, Dhea. Siapa tahu Ethan ini tipe cowok yang mandiri. Yang mau hidupin istrinya dari hasil jerih payah dia sendiri. Keringat sendiri. Bukan campur tangan keluarganya."

Aku memutar bola mata.

"Bukannya itu bagus. Jadi dia bukan tipe laki yang mokondo. Bertanggungjawab. "

"Tauk ah! Pusing gue ngomongin dia itu!"

"Kali aja sebenarnya dia itu mau serius sama elo, Dhe. Tapi dia sendiri masih bingung. Ya lo tahu, residen di Indonesia ini duitnya berapa? Lo gaji lo aja udah sembilan  digit. Tabungan sepuluh  digit. Minder kali dia sama lo. "

Aku diam saja. Memikirkan kemungkinan yang baru saja dilontarkan oleh Davinsha. Bisa jadi memang itu yang membuat tingkah Ethan agak aneh.

Akan tetapi, kalau mengingat tatapannya ke arah Jana waktu itu, kok aku balik lagi jengkel ya sama dia?

***

Comment