Dua Puluh Enam

Setelah acara syukuran kelulusan itu, hubunganku dengan Ethan jadi semakin lengket. Meski belum pernah menjawab pernyataan Ethan, tentang  apakah aku mau menjadi pacarnya, namun aku sudah nggak keberatan lagi kalau tiba- tiba lelaki itu muncul di rumah saat pagi- pagi.

Atau datang saat makan siang.

Lain dengan saat masih jadi residen, sekarang- sekarang ini, Ethan lebih sering muncul saat makan siang dan terkadang juga bisa menjemputku saat aku pulang ngantor.

Terkadang hal itu sangatlah menolongku yang sudah begitu tepar bergelut dengan angka dan aplikasi SPSS serta MYOB, seharian. Sehingga mataku rasanya mau jereng saja. Kalau sudah begitu, aku maunya diperlakukan kayak Putri. Tinggal duduk dan menggelinding sampai rumah tanpa perlu membuat tegang urat syaraf menghadapi lalu lintas Jakarta saat rush hour.

Tapi terkadang hal itu juga menjadi sumber pertengkaran kami. Kalau pagi Ethan menjemputku, otomatis aku nggak bawa mobil ke kantor, dan itu bikin pulang terasa ribet kalau lelaki itu nggak bisa datang buat jemput.

Ethan sekarang dinas di dua tempat. Di Intimedika pagi sampai jam sebelas. Jam setengah dua siang sampai jam enam di Hardjoeroekmono. Tapi kadang- kadang bisa molor juga kalau ada pasien darurat. Kapan hari, aku harus menunggunya sampai jam sembilan malam karena katanya ada  ex- utero intrapartum treatment  atau EXIT, yaitu prosedur operasi untuk mengeluarkan bayi yang mengalami kompresi pernapasan. Metode bedah ini konon agak lebih rumit ketimbang operasi caesar pada umumnya, karena dokter harus mengeluarkan bayi yang mempunyai gangguan pernapasan. Tantangannya adalah membuat si bayi tetap dapat bernapas ketika dikeluarkan dari rahim sang ibu. Dan kalau aku mendengarkan hal itu, rasanya kok ngeri sendiri.

Maksudku adalah ada orang hamil dan melahirkan setiap hari. Ada yang bisa melahirkan dengan mudahnya. Ada yang harus mempertaruhkan nyawa. Aku pun menyadari betapa nggak pastinya umur manusia.

Aku  waktu itu menunggunya seperti orang dungu bareng bapak- bapak  ssatpam di pos. Begitu dia nongol, aku diam saja. Tawarannya buat ngajakin makan malam di blok M nggak kugubris. Tawarannya buat mampir beli Beng- Beng di supermarket yang masih buka juga kuabaikan. "Kamu kenapa sih, Dhe? Nggak mood gitu. Capek ya?"

"Besok aku bawa mobil sendiri aja ya? Kelamaan kalau nungguin kamu jemput kayak gini. Harusnya kan aku udah ada di rumah sejak jam tujuh tadi. Udah makan, mandi, istirahat."

"Iya, iya, maaf, ya. Tadi ada operasi. Jadi jemputnya telat."

"Itu dia, Ethan. Kalau aku bawa mobil sendiri kan nggak perlu ada kejadian kayak gini. Waktunya pulang aku bisa langsung pulang. Nggak bengong nungguin kamu kayak orang sinting begitu! Aku tahu kerjaan kamu pasti nggak mungkin ditinggalkan. Itu menyangkut hidup mati orang lain. Tapi kan kalau aku bisa bawa mobil sendiri, nggak usah perlu ada yang kayak gini- gini, kan?"

" Tapi aku kepingin gini, jemput kamu biar bisa bareng- bareng. Kita sama- sama sibuk. Akhir pekan pun aku kemungkinan masih harus jaga. Ini kesempatan kita buat berdua- duaan. Kesempatan kita buat ketemu. Ngobrol banyak, masa kamu juga mau cabut hak itu dari aku?"

"Tapi kan nggak efisien, Ethan."

"Terus kapan lagi kita bisa ngobrol. Waktu kita nggak banyak."

"Nggak banyak gimana maksud kamu."

" Masa sih kamu lupa sama obrolan kita waktu itu? Waktu di rumah aku. Aku mau ngelamar kamu. Aku serius."

Aku ternganga. Kukira waktu itu dia cuma bercanda dan hanya terbawa perasaan. Ternyata dia betulan mau melamar. Jadi aku hanya bisa diam. Nggak bisa menyahut dan ngomong apa- apa lagi.

"Kamu mau kan nikah sama aku?"

"Ini ngelamar di mobil?"

"Memang kamu mau dilamar di mana? Di hotel, di Lembang? Di Bali?"

"Tapi ini sambil nyetir. Dan kamu kayaknya lagi capek banget itu."

"Memang. Makanya aku mau cepat- cepat nikah sama kamu. Biar bisa aku bawa balik ke apartemen setiap hari. Liat muka galak kamu setiap detik. Dan kita bisa bikin kloningan kamu yang lucu- lucu."

Mendengarkan hal itu, mukaku langsung memerah. Langsung kulempar pandangan ke luar jendela. Karena nggak mau ketahuan lagi nahan ketawa di hadapannya.

"Eh, kok hadap sana sih, Sayang. Kan akunya di sini!" Ethan semakin gencar saja menggodaku. Dan dengan begitu pun akhirnya kami berdamai.

Atau kali lain, ketika dia janji mau ngajak makan siang bareng, tetapi nyatanya mendadak ada pasien pendarahan. Tanpa ngomong apa- apa, tanpa memberi kabar, aku dianggurin begitu saja. Sampai aku menolak ajakan Yunita, Dina, dan Hasan untuk makan di warteg.

Aku tetap menunggu di ruanganku sambil mengerjakan laporan pajak tahunan yang membuat kepalaku semakin tremor. Jumlahnya yang banyak, dan sebagai orang keuangan sudah jadi naluriku kalau aku jadi pelit mengeluarkan uang.

Ya bukan wewenangku untuk mengeluarkan uang perusahaan. Itu sih tugas kasir, akan tetapi ketika menentukan berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan setiap bulan, setiap tahun, bikin aku mau darah tinggi. Padahal itu bukan uangku juga.

Sampai lewat jam istirahat, tetap nggak ada kabar dari Ethan. Aku akhirnya menyeduh cup noodles dengan toping sosis. Makan di pantri dan merana sendirian. Padahal aku sudah membayangkan makan nasi pakai tumis tauge dan ayam serundeng serta sambal goreng tomat.

Jadinya sekarang cuma makan mie instan. Dan ketika Sivan muncul di pantri, lelaki itu menatapku dengan seringai keledai yang kubenci itu. "Punya pacar kok makan di pantri sih, Mbak. Mana makannya mie instan pula! Nyesek amat deh kayaknya!"

"Diem lo!"

"Dih, marah."

Aku hanya memutar bola mata. Kemudian menganggap kalau dia itu nggak ada. Kukira dia cuma mau ngambil air dari dispenser atau apa. Tahunya setelah mengambil air, gelasnya ia bawa ke meja. Lelaki slengean itu dengan entengnya dan tanpa diundang malah duduk di hadapanku. "Emang mas pacar nggak ngajakin makan siang?" ia menaik- naikkan alis dengan gaya jail nya yang bikin aku mual.

"Ngapain pake acara nanyain pacar gue segala!"

"Kan gue perhatian sama lo!"

Aku menjelingkan mata ke atas. Tetap melanjutkan makan dan bertekad untuk tetap nggak bereaksi walau dia mau jungkir balik kayang koprol di hadapanku.

"Kayak gini, punya pacar sama nggak punya nggak ada bedanya ya, kan?"

Tuh, kan. Iblis banget si Sivan O' Riley  ini. Dasar bule setengah jadi!

Aku tetap fokus makan. "Gue dengar- dengar dia dokter kan?"

"Lo timbang minum aja kenapa harus lama banget sih? Gue buru- buru mau kelarin makan. Mau balik ke ruangan."

"Ya lanjutin aja. Gue nggak minta kok. " Ujarnya enteng seraya mengangkat gelasnya ke mulut. "Anggap aja gue nggak ada!"

"Gue emang nganggap lo kayak bisul di pantat! Walau nggak kelihatan tapi bikin sakit! Mau gue pites aja rasanya tahu nggak!"

"Gue sih nggak keberatan kalau jadi bisul di pantat, " balasnya, "asal pantat lo!"

Memang gila itu orang.

***

"Sorry ya. Tadi aku nggak bisa datang buat bawa kamu makan siang. Padahal sudah janji." Mukanya saat mengatakan itu memang memelas banget.

Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku nggak bakalan luluh, meski dia pasang wajah se- innocent anak anjing sekali pun.

Salah ya tetap salah. Dengan dalih apa pun. Seharusnya kalau memang nggak bisa itu ya jangan janji. Dan kalau sudah terlanjur tapi nggak bisa menepati, paling nggak kan bisa ngabarin. Jangan jadi bikin aku nganggur dan berakhir makan mie instan di pantri dan digangguin sama Sivan.

Jadi, aku diam saja. Wajah kusetel jadi sedatar wajan martabak telur. "Dhea... " ia mengerang. Hampir- hampir frustrasi. Bukannya aku jadi suka karena kayaknya dia mulai memohon- mohon padaku. Aku bukan tipe perempuan yang menyukai ada lelaki merengek padaku. Ganggu banget tahu, nggak!

"Dhea, jangan marah ya?"

"Lain kali mendingan kita makan sendiri - sendiri aja."

"Tapi tadi siang aku memang pengin banget makan sama kamu, Dhe. Belakangan kan kita jarang ketemu. Aku kangen. Masa ngajakin pacar sendiri buat makan siang aja nggak boleh!"

"Siapa yang nggak ngebolehin sih?" aku mulai keki. Melipat kedua lengan di depan dada. "Aku cuma mau kita ini efisien aja, Et. Kan aku juga nggak nuntut kalau kita harus selalu makan siang bareng- bareng. Aku tahu kesibukanmu itu nggak bisa diprediksi. Jadi aku ngerti kalau kamu nggak bisa kasih aku banyak waktu. Tapi jangan maksain diri. Kalau emang bisa ya nggak apa- apa. Tapi kayak tadi itu aku beneran tunggu kamu. Tapi kamunya nggak muncul- muncul juga. Nggak kasih kabar pula!"

"Kan bisa nelepon aku, Dhe."

"Buat apa?" aku mulai nyolot. "Kalau nyata- nyata kamu nggak bisa nelepon aku buat kasih kabar, berarti kamu lagi sibuk dong. Nggak mungkin kamu lagi nongkrong enak- enakan di kafe rumah sakit atau makan baso di food court!"

Ethan kemudian hanya bisa mendesah. Hening kemudian menyelimuti mobil yang saat itu menggelinding pelan di jalan raya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Kebetulan hari ini aku memang niat lembur, karena nggak mau dipaksa melembur akhir pekan. Aku pengin ngemal dan ke toko buku. Pengin santai dan menikmati hidup.

Aku kira punya seseorang yang disebut sebagai pacar itu enak. Nyatanya memang selalu ada hal- hal yang menyebalkan tentang hubungan dua hati.

Ini adalah pertengkaran pertama kami setelah jadi pacar. Dan sepanjang perjalanan pulang itu, kami berdua hanya saling membisu. Sumpah deh rasanya nggak enak banget!

***






Comment