Dua Puluh


Selama di Bali, Davinsha nggak berhenti untuk menghiburku. Dia sengaja mendaftarkanku paket tour. Seorang kenalannya yang bernama Gustian membuka usaha tour and travel, sedang memandu turis asal Jepang. Davinsha berupaya menyelipkan aku ke dalam kelompok berisi delapan orang itu.

"Nggak apa-apa ya, lo ikut mereka? Ramai- ramai gini bisa bikin lo cepet ngelupain apa yang pengin lo lupain." Ujar Davinsha. "Dan ingat, jangan jadi menyedihkan cuma gara- gara cowok. Jangan jadi kayak gue. Oke!" ia menepuk- nepuk punggungku.

Aku maju dengan ragu. Kupikir, tur ini ide buruk. Pasti bakalan berakhir dengan garing dan membosankan. Akan tetapi, ketika sedang menunggu pemandu tur, bersama - sama orang berkulit putih dan berbicara bahasa Jepang, seseorang menepuk punggungku. Otomatis aku berbalik karena kaget.

Kutemukan senyuman lebar Ewan. Gigi- giginya berbaris putih dan rata. "Ngapain lo kelayapan sampai ke Bali!" tanyanya. Dia memakai kaus pendek warna putih dan celana pendek khaki, sepatu sneakers, dan ransel di punggung. Kacamata hitam bertengger di puncak kepalanya yang berambut cepak.

Aku masih memegangi dadaku lantaran kaget. "Ewan!" seruku heran bercampur jengkel. "Ngapain lo di sini?"

"Gali kuburan, Dhe." Dia ketawa garing dengan leluconnya sendiri. "Ya liburan lah. Udah lama nggak ambil cuti." Giliran dia yamg yang sekarang menatapku lurus-lurus. "Lo juga liburan sendiri? Menyedihkan amat!"

Aku langsung manyun. Sialan.

"Eh, gue emang pengin menikmati liburan ya! Jadi gue sengaja pergi sendiri. Ribet pergi bareng pacar!"

"Halah. Kayak lo yang punya pacar aja." Dia masih cengengesan nggak jelas. "Eh, gimana kabar si Ethan?"

Kedua alisku langsung menukik tajam. "Lah kok nanya gue sih? Emang gue emaknya dia apa?"

"Ya gue kira setelah kejadian di reunian itu kalian bakal end up menikah atau apa gitu. Secara dulu setiap kali latihan renang, doi nanyain lo mulu. "

Aku mencibir.

"Lah! Gue nggak bohong kali. Lo tanyain aja tuh sama si Indra. " Ungkapnya. "Lo kan waktu itu tahu-tahu udah nggak pernah muncul di perpus dan jadi sering ke kantin. Padahal sebelum-sebelumnya lo nggak pernah pergi ke kantin. Dia mau deketin lo tapi kalo di tempat rame-rame gitu kan kayak malu."

"Halah gue tahu lo pasti lagi ngarang bebas nih." Bantahku keras kepala. "Asal tahu aja ya, I don't buy it! Gue yakin lo sekarang ngomong gini cuma mau iseng doang kan? Udah deh gue hafal sama trik lo."

"Eh, nih anak!" dia tergelak- gelak. "Dibilangin nggak percaya."

"Halah!" aku melambaikan tangan, bermaksud untuk menyuruhnya diam  , tapi untung saja pemandu tur sudah mulai kelihatan batang hidungnya. Dia membawa megaphone untuk memberikan pengumuman syarat dan ketentuan yang berlaku selama mengikuti tur ini.

Aku meleletkan lidah ke arah Ewan. Dia masih ketawa sambil berkacak pinggang dan menggeleng-geleng.

****

Tur hari itu hanya berkisar di dekat- dekat Denpasar. Mulai dari mengunjungi pura Sakenan, lapangan Puputan, monumen Bajra Sandhi Renon, museum Bali, lalu ke Pasar seni Kumbasari. Terakhir, ke pantai Sanur.

Ewan dan aku bergantian mengambil foto. Di depan pura, di lapangan Puputan, di monumen Bajra Sandhi Renon, museum Bali hingga pasar dan Pantai. Ketika di pasar, salah satu teman tur dari Jepang menawarkan diri untuk memotret kami berdua. Begitu juga ketika kami di pantai sepuluh menit sebelum matahari tenggelam.

Suasana Bali, ditambah keberadaan Ewan dengan tingkahnya yang agak menjurus ke konyol, membuatku agak sedikit bisa melupakan perasaan gundah dan gelisah yang kurasakan sebelum memulai tur ini.

"Besok turnya ke pulau Serangan. Mau liat konservasi penyu. Lo mau ikut?"

"Lo juga ikut?" sore itu, kami berdua duduk di pinggir pantai beralaskan kain sarung pantai yang dibeli dari pedagang lokal. Di kaki langit, matahari nyaris mencumbu permukaan lautan. Terasa syahdu.

Sekarang aku tahu mengapa banyak sekali orang berkeliling pantai hanya untuk berburu sunset. Atau mengapa di foto-foto media sosial semua orang berlomba-lomba untuk memamerkan sunset terbaik yang pernah mereka saksikan. Nggak lain dan nggak bukan karena nuansanya yang amat magis dan punya daya renung tinggi. Seperti yang sedang kurasakan saat ini.

"Nggak tahu deh, liat besok. " Ujarku malas- malasan.

"Nah, done." Dia bergumam. Aku menoleh keheranan ketika Ewan sudah tersenyum puas memegangi ponselnya dan matanya tertuju pada layar yang menampilkan siluet tubuh kami yang duduk bersama menghadap matahari tenggelam.

"Lo ngapain? Posting foto?"

"Iya." Jawabnya tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Kenapa? Emang nggak boleh post foto-foto liburan?"

Aku manyun seketika.

"Tenang sih. Nggak kelihatan juga muka lo." Ujarnya. "Tapi foto yang pas di pasar tadi bagus banget. Sayang kalo nggak gue post." Lagi-lagi lelaki itu cengengesan.

Aku mendelik lebar ke arahnya. Untung selama acara tur ini, aku sengaja untuk membuat ponselku jadi mode pesawat. Ceritanya kan aku lagi liburan. Aku malas direcoki dengan segala sesuatu yang ada di Jakarta.

"Lo nanti ada acara nggak?"

"Emang mau apa?"

"Cobain makanan di sinilah! Gue traktir deh!"

Aku mendengus. "Timbang makan doang sih nggak usah pakai sok-sokan mau nraktir deh. Gue bisa bayar sendiri."

Matanya kemudian menatapku lurus-lurus. Dan seolah sedang dikuliti hidup-hidup, aku jadi merasa harus menoleh balik ke arahnya. Ekspresinya nggak bisa kutebak. Tapi dia nggak tersinggung. Sementara alisku terangkat tinggi-tinggi. "Apa sih?" ditatap sebegitu intensnya, membuatku akhirnya merasa jengah juga.

"Pantes ya lo sampe umur segini tuh masih ngejomlo. Terlalu mandiri sih."

"Ngerasa terintimidasi?" tantangku. "Basi tahu nggak!"

"Kebanyakan cowok tuh suka kalau cewek mereka bergantung sama cowoknya. Kayak tuh cowok jadi merasa berguna buat ngejaga dan ngelindungin itu cewek. Jadi tempat sandaran si cewek."

"Pemikiran zaman Hayam Wuruk begitu masih laku?" sindirku. Bukannya apa-apa. Akan tetapi, sejak kecil, ibu selalu menekankan supaya aku menguasai semua hal yang bisa dilakukan cowok. Yah kecuali bersikap brengsek dan bagian harus membuahi pasangan. Karena sudah jelas kalau takdirku itu ya dibuahi.

Jadi intinya, ibu selalu menekankan agar aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Agar jangan menunggu ditolong. Dan kalau bisa malah harus menolong orang lain. Sejak dulu, teman-teman sekolahku sering meminjam uang saku yang kukumpulkan. Tapi aku belum pernah pinjam balik ke mereka.

Kalau jajan di luar sekolah, misalnya di mal atau tempat bakso dan siomay langganan, baik itu lagi pergi sama teman cowok atau cewek, pasti aku mengupayakan untuk membayar sendiri apa yang aku makan. Pun ketika aku awal-awal kencan dengan Mas Wicak. Setiap pergi makan, aku pasti ngotot bayar sendiri. Dia berulangkali mengalah. Sampai akhirnya kami jadian dan pacaran pun aku masih terlalu mandiri baginya. Hingga dia memutuskan bahwa ada perempuan lain yang lebih membutuhkan dirinya ketimbang aku yang kelewat mandiri.

Aku sendiri melihat ibu sebagai role model. Beliau meski nggak kerja kantoran karena bapak memintanya untuk di rumah saja, pun tetap punya akal untuk menggerakkan sumber daya yang dia punya. Ibu punya skill membuat kue kering dan kue basah. Ibu bisa menjahit. Akhirnya, ibu membuka katering snack box yang bisa membantu menyokong perekonomian keluarga. Ayahku tentu saja nggak melarang. Tapi tujuannya hanya supaya istrinya nggak bosan menunggu dia pulang kerja.

Dan meski ada saat-saat ibu banjir pesanan katering snack box, bahkan penghasilannya melebihi gaji ayah, lelaki favoritku itu sama sekali nggak merasa tersaingi atau terintimidasi. Ayah malah sigap membantu ibu untuk mengantarkan pesanan- pesanan kue.

Aku menyukai cara kedua orangtuaku bekerjasama. Aku ingin memiliki rumah tangga dengan ritme serupa. Di mana suami istri adalah partner yang seharusnya saling mendukung satu sama lain. Dan meski dulu gaji ayah nggak banyak- banyak amat, setiap pulang terkadang beliau membawakan ibu makanan. Martabak, sate ayam, bakso, soto babat, dan senyum ibu pasti akan lebar sekali. Cintanya pada ayah akan terpancar hingga menyelubungi rumah kami dengan kebahagiaan.

Mungkin karena hal itu juga, Bang Doni dan aku tumbuh menjadi pribadi yang tergolong matang. Kami bahkan nggak pernah melihat ayah bertengkar dengan ibu. Kalau pun menurut ibu ayah membuatnya kesal, perempuan itu hanya akan diam dari pagi sampai sore. Hingga ketika ayah pulang dan membawa oleh-oleh buat ibu, semuanya akan baik-baik saja. Ayah akan minta maaf. Ibu juga akan minta maaf. Lalu mereka akan masuk ke kamar dan mengobrol hingga jauh malam. Aku mengetahui hal itu karena biasanya jam segitu masih nyolong- nyolong melihat televisi. Dan kamar orangtuaku berada di depan ruang keluarga.

Ah, such a happy marriage life.

Apa aku bisa menemukan pasangan yang seperti ayahku? Yang membuatku merasa istimewa dan spesial.

****

Comment