Dua Puluh Tiga

Aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dan juga ada peribahasa Jawa berbunyi "koyo kethek ketulup" yang dalam bahasa Indonesia artinya mirip monyet kena tembak. Alias manut dan nurut- nurut saja waktu tangan Ethan menggandengku menuju tempat mobilnya diparkir.

Keheningan membungkus. Nggak satu pun di antara kami yang membuka mulut. Dan tangan Ethan yang menggenggam erat tangaku terasa hangat. Walau mukanya kulihat agak kuyu.

Ada lingkaran hitam di seputar matanya. Pertanda bahwa dia nggak cukup tidur. Dan entah mengapa rasa kesalku mendadak luntur begitu melihatnya agak sedikit pucat. Tapi mau nanya duluan juga gengsi banget.

Mobil meluncur mulus di jalanan. Membelah padatnya jalanan Jakarta sore itu. Entah mengapa, hanya berada di dekat Ethan begini saja sudah membuat perasaanku jadi damai.

Beberapa kali aku melirik ke arahnya lewat ekor mata. Dia sedang fokus menatap ke jalanan di depannya. Daripada mati gaya, aku akhirnya membuka ranselku. Mengeluarkan tablet dan mulai membaca berita lewat browser.

Berita utama adalah melonjaknya nilai dollar terhadap nilai tukar rupiah. Terus terang ini agak mengganggu pikiranku. Dengan naiknya dollar, otomatis juga akan membuat barang-barang impor mulai merangkak naik. Begitupun dengan suku bunga kredit.

Beberapa item yang dijual Ranjana adalah barang impor yang didatangkan dari Hong Kong. Memang hal itu nggak ada kaitannya secara langsung dengan pekerjaanku. Tapi mau nggak mau aku akan kena imbasnya juga. Sebentar lagi bagian pembelian juga bagian marketing bakalan mengajukan permohonan untuk menaikkan bujet belanja. Padahal keuangan Ranjana baru saja stabil beberapa bulan ini.

Aku jadi pusing sendiri. Ini namanya sama dengan cari penyakit. Pulang liburan bukannya santai-santai ngapain kek, eh malah buka berita ekonomi segala. Hadeuh. Meuni bikin lieur pisan.

Aku kembali meletakkan tablet di pangkuan. Kurogoh bagian samping ransel yang masih tersimpan sebotol air mineral berukuran 330 mililiter, membukanya, kemudian menenggaknya hingga tandas.

"Haus?"

Aku menoleh. Mengangguk.

"Itu di belakang ada air mineral. Satu kardus masih utuh."

"Ini udah kok." Aku mengacungkan botol kosong itu ke arahnya.

"Siapa tahu haus lagi. "

Entah ini cuma perasaanku saja atau memang dia berubah jadi ketus dan dingin ya? Tapi kok kesannya jadi aku yang salah di sini?

Posisiku mirip seperti pacar yang ketahuan lagi liburan sama cowok lain di saat pacarku yang asli sedang sibuk.

Mau tanya, sekali lagi aku masih gengsi. Kan kami juga nggak pacaran. Hubungan ini sungguh-sungguh membingungkan. Aku mendingan disuruh ngerjain laporan keuangan tahunan untuk RUPS Ranjana yang anggotanya rewel- rewel itu.

Lambat laun aku merasa ada yang aneh. Mobil ini nggak mengarah ke rumahku, melainkan ke Lebak Bulus. "Ini kayaknya bukan jalan ke rumah deh."

"Memang bukan."

"Terus kenapa ke sini?"

Dia menoleh sekilas. "Nanti kamu juga tahu sendiri."

"Kamu nggak bawa aku ke tempat tinggal pribadi kamu, kan?"

"Kalau kamu mau,"

"Ini sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mendadak jadi diam-diam begini? Kayak jadi aku yang punya salah ke kamu."

"Kamu yang mancing duluan."

"Mancing?" ulangku nggak percaya. "Mancing gimana? Kamu aneh banget deh, Et! Sikap kamu ke aku ini nggak jelas banget!"

Lelaki itu hanya membalas dengan dengusan.

"Kenapa diam aja?"

Dia tetap bergeming. Dan aku jadi bertambah kesal. Inginku berkata kasar. Atau membanting apa pun yang bisa dibanting. Sayangnya, bukan begitu watakku. Aku belum sebegitu kayanya sampai mau-maunya membanting tablet sebelas inci yang harganya setara dengan satu sepeda motor seken itu. Jujur, aku masih sayang uang.

"Kalau gitu turunin aku di sini aja!" suaraku nyaris bergetar. Tenggorokanku kering. Rasanya seperti tersekat. Mataku juga jadi panas. Aku bukan tipikal perempuan yang dengan gampangnya menangis. Hanya saja kelelahan, dan sikap Ethan yang aneh bin ajaib ini membuatku benar-benar overwhelming banget.

Aku yang nggak ngerti apa- apa. Yang nggak tahu apa-apa, tiba-tiba diperlakukan seperti seorang tersangka selingkuh. Padahal aku nggak selingkuh. Dan juga nggak bisa dikatakan sebagai selingkuh kalau pacar saja aku nggak punya. Lalu aku selingkuh dari siapa? Menyebalkan memang si Ethan ini.

Mobil berbelok ke kompleks perumahan menengah ke atas. Ethan berhenti sejenak di pos pemeriksaan, namun dua orang satpam yang tengah berjaga, melambaikan tangan pertanda bahwa Ethan dipersilakan langsung masuk.

Deretan rumah-rumah bercat putih dengan dominasi gaya arsitektur Eropa, langsung menyambut. Rumah-rumah itu rata-rata berpagar tinggi. Namun bangunan di dalamnya yang menjulang, tetap mempertontonkan kemegahan arsitekturnya dan juga menandakan berada di tingkat ekonomi mana para penghuninya.

Tepat di persimpangan taman dengan air mancur yang megah menyita perhatianku. Kondisi kompleks itu bersih dan tertata. Ada minimarket 24 jam, coffee shop, bakery, restoran cepat saji, restoran Sunda, Padang, Jawa dan Manado, lalu supermarket bahan bangunan, supermarket besar, sekolah mulai dari tingkat pre-school hingga SMA yang berada dalam satu lingkungan. Bahkan pasar, klinik mewah serta rumah sakit besar. Kawasan ini seperti Superblok yang mengakomodir semua kebutuhan penghuninya.

Mobil akhirnya berhenti di ujung blok. Rumah dengan pagar berlapis kayu setinggi tiga meter berwarna cokelat hickory dengan pos satpam di hadapannya. Seorang lelaki berseragam hitam menekan tombol dan pintu pagar terbuka secara otomatis. Teknologi.

Sesampainya di dalam, aku masih dibuat takjub dengan taman bergaya Inggris dengan keanekaragaman tumbuhannya. Jalan yang terbuat dari cobblestone itu hanya muat untuk satu mobil yang mengarah ke rumah tiga lantai dengan gaya Victoria. Lagi- lagi warna putih mendominasi bangunan tersebut.

"Ini rumah siapa?"

"Rumah orangtuaku."

"Terus ngapain ke sini?" Aku menegakkan punggung. Kalau ini adalah film horor, yang sedang kujalani adalah scene menegangkan. Bagaimana enggak? Soalnya penampilanku saat ini yang hanya mengenakan midi dress dengan lengan model balon berwarna mauve, nggak layak untuk masuk ke rumah semegah ini.

"Ethan, ngapain kamu bawa aku ke sini?" tuntutku.

"Mampir." Ujarnya. Masih tetap cuek. Ia memarkirkan mobilnya di carport yang berisi sederetan mobil-mobil buatan Eropa yang hanya bisa kupelototi lewat film-film atau ketika di parkiran mal mewah, hotel berbintang, dan restoran fine dining.

Mesin mobil dimatikan. Sabuk pengaman dilepas. "Ayo," ujarnya.

"Ayo?" aku menatapnya horor. "Ayo ke mana, maksud kamu? Jangan menghinaku dengan cara seperti ini, Ethan! Aku tahu keluargamu itu high society. Tapi kamu nggak berhak melakukan ini sama aku."

"Keluar."

Aku memelototinya. "Ogah."

"Dhea," desahnya kemudian. "Keluar."

"Aku nggak mau. Enggak sudi juga." Kulipat kedua tangan dengan mimik keras kepala.

Ethan hanya menatapku dengan mata yang disipitkan. "Atau mau aku yang gendong, kalau kamu pengin bikin pertunjukan." Ucapnya dengan ketegasan yang nggak bisa dibantah lagi.

Aku terkesima. Ini bukan Ethan yang biasa kujumpai kemarin-kemarin. Ini orang lain yang mengambil alih sosok yang sebelumnya seolah nggak punya muka karena biarpun sudah kujuteki, tetap saja dia mendekat.

***

"Oh, sudah datang." Seorang wanita kira-kira sepantaran dengan Pak Rasyid, dengan wajah yang sangat glowing dan memang agak punya kemiripan dengan Nigella Lawson itu menyambutku dengan senyum tipis.

Rambutnya tergerai sepunggung. Tubuhnya dibalut dengan atasan sutera warna putih mutiara dan cigarette trousers berwarna abu-abu besi. Kedua kakinya dibungkus dengan selop. Tampak santai namun berkelas.

Biarpun aku hari ini agak nggak menyukai tingkah anaknya, namun kuputuskan untuk tetap bersikap sopan pada ibunya.

"Halo, Tante. Saya Dhea." Aku menghampirinya dan meraih tangannya untuk kucium, sebelum dia memelukku dan mencium kedua belah pipiku dengan akrab.

Ia kemudian menjauhkan tubuhku, matanya menyapu penampilanku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Mengangguk- angguk  dengan barisan kerutan di keningnya yang licin itu. "Cantik lho, Ko, pilihan kamu. " Pujinya. Yang seketika membuatku langsung panas dingin. "Tapi sayang kok kurang BB ya? Tuh lihat, dadanya rata sih kamu bisa atasin ya, Ko. Tapi bagian butt nya ini kok tepos banget ya. Pinggangnya kekecilan. Mana bisa lahir anak banyak entar. "

Aku mati-matian menahan diri agar nggak terparangah. Luar biasa Nigella Lawson KW ini kalau ngomong. Nggak pakai filter. Apa tadi dia bilang? Dadaku kelewat rata? Bokongku yang tepos? Dan pinggang kecil yang nggak bisa mungkin melahirkan banyak anak?!

Sekarang aku yakin kalau mukaku yang tadinya merah karena malu, kini berubah jadi ungu seperti habis makan kari buatan Takeshi Gouda alias Giant , yang rasanya mirip ramuan nenek sihir.

Huh! Awas aja tuh si Ethan. Sebentar lagi bakalan kubejek- bejek mukanya! Sialan banget tuh orang. Udah maksa bawa aku ke sini, sekarang aku dibikin malu setengah mati dengan perkataan ibunya yang ajaib barusan itu.

***

Comment