Lima

Tapi setelah senyumannya mengembang sesaat. Dia menyipitkan mata padaku. Huh, apa maksudnya itu?

Tapi aku nggak ambil pusing. Toh sebentar lagi, aku pasti nggak akan ketemu lagi dengannya.

Langkahku sudah mendekati ruang rawat inap tempat Mita dirawat semingguan ini. Ayah, Bu Is, Nilam, sudah berkumpul di ruangan itu. Kondisi Mita juga jauh lebih baik. Nggak pucat lagi seperti tiga hari yang lalu.

Jadi, seharusnya setelah melahirkan, tiga hari setelahnya Mita sudah diperbolehkan pulang. Hanya saja, pada hari kedua, mendadak tekanan darahnya ngedrop. 80/60, padahal Mita nggak pendarahan. Aku sendiri juga nggak paham apa penyebabnya. Dokter dan perawat sampai- sampai pernah menanyai Nilam dan Bu Is tentang apakah kakak iparku punya riwayat darah rendah?

Rupanya Bu Is membenarkan, bahwa Mita memang sejak dulu punya anemia. Untung saja dia nggak pendarahan ketika melahirkan.

Administrasi selesai diurus, dan kami bisa membawa Mita pulang. Ayahku membawa Suzuki APV Arenanya, jadi bisa muat banyak untuk barang- barang yang entah bagaimana menumpuk di kamar Mita. Termasuk juga bingkisan yang diterimanya dari para teman- teman kantor Mita yang datang menjenguk.

Saat menunggu mobil ayah, kurasakan getaran yang berasal dari dalam tasku. Aku mengaduk isi tote bag Kate Spade yang kubeli di Singapura empat tahun yang lalu itu. Dahiku mengernyit ketika mendapati sederet nomor yang tertera di layarnya.

Aku sama sekali nggak mengenali nomor tersebut. Akhirnya kuputuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut dengan mengusap ikon merah pada layar ponsel.

Baru akan memasukkan kembali ponsel ke dalam tas, benda itu sudah kembali menyala. Aku mendengus, lalu akhirnya mengangkat panggilan itu dengan parasaan gemas.

"Halo?"

"Itu tadi suami kamu?"

Aku mematung. Dari mana setan belang ini mendapatkan nomor ponselku. Aku mengarahkan pandangan ke sosok Mita yang sedang menguprek ponselnya sendiri. Ini pasti kerjaan iparku yang iseng itu.

"Sori, apa nggak terlalu muda buatmu?"

"Aku suka daun muda kok!" aku berkilah. Cemberut.

"Yang begitu biasanya kurang stabil secara emosional." Komentarnya. Dasar sok tahu.

"Yang dewasa juga belum tentu stabil." Hampir- hampir aku menggeram. Membuat Nilam melirikku dengan tatapan bertanya. Kulambaikan tangan singkat ke arahnya yang menandakan aku baik- baik saja.

"Orang dewasa kebanyakan egois."

"Okeee...."

Aku dapat menangkap nada geli dalam suaranya. Sepertinya dia tahu bahwa kemarin aku hanya ngibul. Tapi biar saja. Maju terus pantang mundur! Jalevesva Jayamahe! Jer Basuki Mawa beya ! Rambate Rata Hayo!

"Apa maksudnya itu?" desisku nggak terima. "Kamu ngetawain saya?" todongku.

"Ngatawin gimana? Lagi pula gimana kamu tahu kalau saya lagi ketawa? Ponselmu ada magicnya ya?"

"Ethan .... " Aku menggeram. Keceplosan menyebut namanya dari sela- sela gigiku yang bergemeretak. Sedetik kemudian aku meyesal karena telah menyebut namanya.

"Ya, Dhea .... "

Suaranya lembut. Bahkan amat lembut. Kalau saja kami nggak punya sejarah yang buruk di masa lalu, kemungkinan besar saat ini aku bisa saja meleleh di kakinya hanya karena mendengarkan panggilannya itu.

Merasa sudah kehilangan kata- kata, akhirnya aku hanya diam saja. Sebelum memutus sambungan dengan perasaan gemas.

****

"Jadi gimana? Elo hari ini nggak bawa bekal kan?" baru saja aku melangkahkan kaki masuk ke area lobi dan hendak sprint menuju lift, ketika sosok Ferdian tiba- tiba sudah berada di sampingku.

"Lo ngagetin gue!" Aku terlonjak mundur. Dia terkekeh. Hari ini karena Bu Is masih menginap di rumah Cipete, jadinya aku masih mendapatkan jatah perbaikan gizi. Mertua Doni yang baik banget itu membuatkanku capcai dan ayam goreng tepung. Tapi aku tergoda untuk makan siang bareng cowok ini.

Habis menurutku dia cute juga. Tapi aku nggak mau kelihatan terlalu ngebet atau terlalu kepingin gitu.

"Jadi gimana?"

"Apanya?"

"Makan siang bareng hari ini?"

"Emang lo ada referensi tempat makan siang di mana? Kalo cocok sih gue ayo aja." Aku mengangguk- angguk. Padahal, masakan Bu Is sejak tadi sudah bikin aku ngiler banget.

"Ada deh pokoknya!" dia sesumbar sambil terus menatap ke arahku dengan begitu intens. "Gimana? Gue tungguin jam dua belas ya."

"Oke," akhirnya aku mengiyakan. Aku tahu kapan harus mengulur, kapan harus menarik. Karena aku juga penasaran dengan lelaki di hadapanku ini, lagian dia sudah mengajakku sejak kemarin, jadi apa salahnya menyambuti ajakannya? Ayam goreng tepung dan capcai bisa menunggu.

Lagi pula, Bu Is selalu masak banyak. Paling- paling nanti waktu aku pulang, juga masih ada. Uh, beruntung banget Mita masih punya ibu di usia 29 tahun.

Lagian, dia ngajaknya siang bolong juga. Bukan tengah malam buta. Jadi seharusnya aku nggak perlu takut. "Gue ke atas dulu ya?"

Dia mengangguk singkat. Aku melenggang menuju lift. Bersenandung ringan. Begitu memasuki ruangan, samar- samar terdengar suara Bishop Briggs dari speaker komputer milik Dina.

Aku meletakkan semua bawaanku ke atas meja. "Din, mau ke pantri enggak? Gue mau bikin kopi nih?"

"Udah ada kopi gue, Kak." Jawab gadis itu. Dina baru masuk setahun ke Ranjana. Menurut gosip, dia sebenarnya anak direktur leasing. Nggak heran juga sih. Semua yang menempel di tubuhnya adalah barang  keluaran butik- butik desainer terkenal baik dalam mau pun luar negeri. Tapi anehnya dia kayak kelihatan minder gitu. Dina juga tergolong nerd. Hobi baca buku tebal dan lebih menyukai kacamata ketimbang soft lens.

"Starbucks ya?"

"Iiiiyaaa ...." Mukanya kelihatan salah tingkah. "Emang kenapa?"

My Chemical Romance mengalun dengan Disenchanted nya itu. Uh, pagiku langsung mood banget. Dulu, semua teman- temanku menyukai lagu ini. Dan berlomba- lomba untuk menghafalkannya.

Terutama Rissa yang waktu itu naksir berat sama Mas Rendra. Narendra Yudhistira dulu memang tergabung dalam band sekolah bernama Idealistic. Sukanya membawakan lagu- lagu Bon Jovi, Pearl Jam, The Killers, The Cure dan My Chemical Romance. Kalau dia lagi manggung, pasti cewek- cewek pada histeris.

Soalnya selain cakep dan cool, Mas Rendra itu juga cerdas. Idaman banget deh pokoknya. Dan yang lebih menyenangkan dari itu semua, Mas Rendra ini nggak satu circle sama Ethan. Jadi kalau mau fangirling juga bebas.

Belakangan kata Rissa yang suaminya punya biro arsitek sendiri, Mas Rendra bergabung dalam B3+ Architecture.

Aku melenggang ke pantri setelah mengambil sebotol kopi kemasan. Gaya minum kopi ala Aradhea Puspitha adalah; sebotol kopi instan, dicampur dengan susu kental manis yang selalu tersedia di pantri, lalu susu evaporasi. Dikasih es batu. Soalnya sejak dulu aku agak alergi minum kopi panas. Habis minum kopi biasanya aku pasti passthrough to WC karena mulas.

Pintu pantri terbuka. Muka bule jalan Jaksa punya Sivan muncul. Tapi kali ini agak lain. Dia kelihatan murung. "Kenapa lo?" tanyaku sambil mengaduk kopi, lalu menuangkannya ke gelas tinggi yang sudah kuisi setengahnya dengan es batu.

"Enggak." Dia menyahut lesu. "Lo gaji doang yang banyak ya, Mbak Yu. Tapi kopi elo melarat gitu!" ejeknya.

Aku sudah berhenti untuk dongkol bila ada yang mengatai kopiku adalah bujet hemat. Memang kenyataannya juga begitu.

Aku beli sekardus kopi botolan dari agen sembako di depan rumah. Susu kental manis selalu tersedia di pantri. Susu evaporasi juga harganya nggak terlalu mahal. Meski gaji sudah dua digit dengan enam nol di belakangnya, tapi kalau masih bisa hemat, kenapa enggak sih.

"Ternyata memang bener sih," Sivan manggut- manggut. Dia sendiri saat itu sedang menjerang air untuk bikin kopi instan yang tersedia dalam berbagai merek. Matanya menatap ke arahku. Semacam ada dendam kesumat gitu. "Bener apanya?"

"Kalo orang yang kerjanya di bagian ngurusin duit itu emang pelit banget." Dia cengengesan.

"Ah, itu sih cuma mitos!" semburku nggak terima. "Lagian kopi di luar sana rasanya juga sama aja. Nggak ada bedanya. Kopi- kopi  juga kan?"

Es kopi buatanku sudah jadi. Aku mencuci gelas yang kugunakan untuk mencampur kopi botolan, SKM dan susu evaporasi tadi di wastafel. "Minggir lo!" usirku. Soalnya Sivan lagi berdiri dengan kedua tangannya yang bertumpu ke atas kitchen set.

"Kemarin jadi ke rumah sakit sama eyangnya Hasan?"

"Hmmm," sahutku acuh tak acuh.

"Eyangnya gimana?"

Ini anak nanya apaan sih?

"Ya gitu. Udah tua. Kayak eyang- eyang pada umumnya."

"Lo jutek amat sih," tahu- tahu Sivan sudah berdiri dekat sekali denganku. Hangat napasnya membelai lubang telingaku. "Asal lo tahu, Mbak Yu, gue nggak pernah keberatan buat kencan sama perempuan yang umurnya lebih tua dari gue."

Aku menggeser tubuh. "Mau lo apa sih? Pake acara nempel- nempel ke gue segala!"

Dia berdecak, kemudian terkekeh. Aku tahu kalau Sivan itu sinting. Makanya aku nggak pernah menanggapinya dengan serius.

****

Ferdian rupanya nggak main- main tentang mau ngajak aku makan siang. Kami memutuskan untuk pergi ke restoran seafood waralaba.

Kalau kali ini dia bertahan dengan cara makanku yang lambat, maka aku akan mempertimbangkannya.

Dia memintaku untuk memesan, setelah dirinya sendiri menyebutkan ingin makan udang goreng tepung. Aku menambahkan oseng tauge, ikan kerapu bakar dan nasi putih.

"Udah? Ini aja?" tanyanya agak keheranan. Aku mengangguk. "Makan siang kan waktunya terbatas." Ujarku.

Sembari menunggu makanan kami disajikan, dia membuka obrolan tentang pekerjaan, hobi dan film yang dibintangi oleh Samuel L Jackson. Aktor favorit Doni dan aku, yang selalu suka dengan humornya. Terlebih dalam film- film MCU.

"Tapi menurutku film- film garapan Marvel itu kayak udah nggak fokus lagi. Ada yang mati lalu dihidupin lagi. Jadinya sekarang  gue jarang banget deh pergi ke bioskop kalo nggak ada yang lagi bagus banget. Seringnya nonton film- film lawas di Netflix atau platform streaming apa aja. Gue masih sering nontonin Kung Fu Hustle juga kalo lagi iseng." Cerocosku. Kayak dia mau tahu saja.

Tapi yang ada dia memang menatapku dengan sorot mata gelinya yang berpendar- pendar. "Lo itu unik ya?" entah itu pujian atau celaan. Yang jelas, mendadak mukaku memanas. Aku tersipu-sipu.

Makanan yang kami pesan datang. Aku sengaja mengambil sedikit sekali nasi. Menyendok oseng tauge dan ikan bakar.

Alisnya mengerut di tengah- tengah glabella menatap piringku yang isinya cuma sedikit. "Pantas ya lo awet langsing gitu. Dikit banget makannya!"

"Inget umur. Pinggang gampang melar diusia segini."

Dia cuma terkekeh.

Makan siang itu tadinya akan sepenuhnya jadi menyenangkan, kalau saja setan belang itu tidak muncul secara tiba- tiba dan merusak  segalanya dengan berdiri santai di samping mejaku lalu bertanya dengan wajahnya yang menyebalkan itu.

"Kayaknya ini bukan suami yang kamu ajak ke rumah sakit kemarin kan? Orangnya beda ya?  Atau kamu ini sebenarnya kayak Drupadi yang punya lima suami gitu."

*****

Comment