13

Matahari bersinar terang, Oniel berjalan riang bersama Gracie mencari buah untuk dimakan. Di belakang mereka ada Greesel yang geleng-geleng kepala melihat tingkah gemas keduanya.

Andaikan sekarang bukan di Combined District, pasti keduanya sudah ia ajak bermain ke taman hiburan.

"Grees! Kak Oniel mau cari temennya!" Adu Gracie sambil menunjuk Oniel yang hendak mengendap-ngendap pergi.

"Bahaya kalau sendiri, lebih baik bareng kita," kata Greesel disertai senyum lembutnya.

"Gak bisa, Oniel mau cari Adel, kasian dia sendirian," balas Oniel memelas. "Boleh ya, kalau Oniel bawa kalian, nanti kalian diincer Amanda juga."

Greesel terdiam, benar juga. Amanda menargetkan Adel dan siapapun yang bersama dengan Adel. Greesel jadi bingung, dia tidak mungkin membiarkan Oniel pergi sendiri, tapi bagaimana dengan Gracie jika mereka bertemu dengan Amanda?

Tidak, Greesel tidak mau Gracoe kenapa-napa.

"Hmm, boleh deh. Hati-hati, ya."

Gracie terkejut. "Grees kok gitu, sih?! Nanti kalau Kak Oniel kenapa-napa gimana?!"

"Daripada kamu yang kenapa-napa? Aku khawatir sama kamu, Gracie."

"Tapi Kak Oniel-"

"Gak apa-apa kok, Gracie. Kak Oniel bisa sendiri, nanti kalau kalian ikut Oniel ngerepotin hehe," potong Oniel sambil senyum lebar, kemudian melambaikan tangan. "Kalau gitu Aden geulis pergi dulu ya, dadah Gracie, Gree!"

Gracie bersedekap dada sambil cemberut, tidak mau menatap Greesel. Marah ceritanya.

"Gracie..."

"Gracie gak mau tau, kita harus susul Kak Oniel."

"Tapi nanti ka-"

"Grees, Oniel cuma sendiri."

"Pemenang berasal dari Base yang sama, kamu lupa?"

Gracie yang ingin bicara langsung bungkam. Dia tahu kemana arah pembicaraan Greesel sekarang.

"Percuma kita bantu Oniel, Gracie. Dia gak bisa kita bantu nanti, dia gak berasal dari Base yang sama. Kamu mau lihat dia kalah di tangan Greesel?"

Kalah di tangan Greesel? Tidak, tentu saja Gracie tidak mau. Oniel sudah ia anggap sebagai kakak sendiri, rasanya berat dan tidak rela bila Oniel dikalahkan oleh kakaknya sendiri.

Greesel membungkuk, menyamakan tingginya dengan Gracoe kemudian mengusap rambutnya.

"Maaf Gracie, ini demi kebaikan kita."













































































"Lia! Callie! Ella! Marsha!

Seruan demi seruan keluar dari mulut Kathrina, memanggil keempat rekan barunya. Semalaman dia mencari mereka, tapi mereka tidak ditemukan dimana-mana.

Dia yakin mereka masuk ke dalam hutan, tapi kemana mereka pergi? Saat masuk hutan tadi malam, dia hanya menemukan tas milik Lia tergeletak di tanah, isinya berserakan.

Tas tersebut robek, ukurannya besar, dan terdapat darah disana. Pengumuman Lia telah kalah memang sudah ia dengar, tapi dia harus memastikannya terlebih dahulu.

Kalau tidak ada orangnya, bagaimana bisa ia percaya kalau Lia sudah kalah?

"Mereka pasti bawa Lia ke suatu tempat, Mereka gak mungkin tinggalin Lia. Tapi, dimana?"

Kakinya terasa sakit karena berjalan semalaman, apalagi lukanya semakin terbuka. Kathrina tidak memegang pistolnya, ia simpan di saku celananya.

Dia yakin tempat ia berada sekarang aman, mungkin?

"Ella! Callie! Marsha!" Teriaknya memanggil, sembari melompati batang pohon yang tumbang.

Kemudian langkahnya terhenti, matanya menyipit melihat sesuatu berwarna merah di tanah, seperti bercak darah?

Dia berlutut, menyentuh darah tersebut kemudian mengendusnya. Darahnya masih baru, namun sedikit kering.

Kathrina berdiri tegak memandang sekelilingnya, suara arus sungai menarik perhatiannya. Dia mengernyit, apa mungkin mereka ada disana?

Tapi, sungai berada di perbatasan wilayah A dan B. Disana sangat berbahaya, mereka bisa menghirup asap yang akan merusak paru-paru dan jantung hanya dalam waktu sepuluh detik saja.

Ah, tapi apa salahnya mencoba kesana? Siapa tahu mereka memang disana.

Tanpa babibu lagi, Kathrina berjalan cepat menuju sungai, tak peduli kakinya yang sakit akibat lukanya. Suara arus semakin keras, hanya perlu melewati semak belukar kemudian sampai disana.

Hap!

Melompati semak belukar dengan kaki terluka? Bagus juga, walaupun agak nyeri, sih...

"Duh, mereka kemana, ya?" Gumam Kathrina cemas, kepalanya celingak-celinguk mencari.

Tak juga ditemukan, KaKathrina berjalan menyusuri sungai, tentu lewat pinggirnya. Tidak mungkin dia berenang, sungainya berbatu dan batunya besar-besar. Bisa mati dia.

"Berhenti!"

Seruan seseorang menghentikannya, dia mendongak ke samping. Ada perempuan berdiri di atas pohon sambil membidiknya dengan panah.

Oh, sepertinya dia akan menjadikan dirinya sebagai target.

"Maaf, gue buru-buru," ucap Kathrina lalu lanjut melangkah.

"Cari temennya, kan?"

Deg!

Refleks Kathrina berbalik. "L-lo tau?"

Perempuan itu, Freya, Fiony dan Jessi, melompat turun dan mendarat mulus di tanah. Panahnya masih ia arahkan ke depan untuk berjaga-jaga sembari menghampiri Jessi.

"Tadi gak sengaja liat, ada cewek gendong temennya yang udah mati," jawab Jessi, tentunya setelah menjaga jarak.

"Tolong kasih tau dimana mereka, gue mohon," pinta Kathrina khawatir. "Mereka butuh bantuan, gue harus kesana sekarang."

Fiony mendelik kaget. "Lo yakin? Disana gak aman, bahkan lo bisa mati kalau gak hati-hati."

"Kasih tau! Tolong, gue harus ketemu mereka, mereka temen gue," pinta Kathrina untuk yang kedua kalinya.

"Hhh, dasar keras kepala." Freya menghela nafasnya. "Lurus aja ke depan, siapin senjata, kalau liat robot langsung tembak tengkuk lehernya."

"Kenapa harus?"

"Disana ada tombol untuk on-off-in robotnya. Percuma lo lawan, robot itu robot canggih. Satu hal lagi, tadi malem, temen lo yang badannya pendek mati dibunuh robot itu."

Kepala Kathrina langsung menunduk ke bawah, menatap bebatuan. Jadi, Lia benar-benar sudah kalah? Lalu, bagaimana dengan mereka bertiga? Dia khawatir, sangat khawatir.

Padahal Lia selalu mendengarkan keluh-kesah Kathrina, kenapa dia pergi secepat itu?

"Gue kesana, makasih banyak infonya," ucap Kathrina beberapa saat kemudian.

Melihat Kathrina berlari meninggalkannya, Jessi geleng-geleng kepala seraya menurunkan busur panahnya.

"Aneh, kenapa orang kayak dia bisa ikut Combined District, sih?"


























































































































"Jadi maksud lo, senjata rahasia itu sebuah ramuan?"

Muthe menyeret tubuhnya mundur, menjauhi Christy yang terus melangkah maju sambil menodongkan pistol padanya.

Rahang Christy mengeras, kenapa Muthe baru memberi tahunya? Kenapa tidak sejak awal?

"Kenapa lo gak bilang, hmm?"

Muthe berani bersumpah, Christy terlihat menyeramkan berkali-kali lipat dari sebelumnya. Bukannya apa-apa, Muthe tidak mau kalah di tangan rekannya sendiri.

Ini lah yang dia takutnya, sifat asli Christy bisa muncul kapan saja. Seharusnya, dia memilih untuk kembali ke tempat Eli saat itu daripada ikut dengannya.

Sial, sekarang dia tidak bisa lari kemana-mana. Lengannya terluka, kaki kanannya baru saja dipatahkan oleh Christy, dia terpojokkan.

"Lo tau tentang ramuan itu dari mana?" Tanya Christy, nada suaranya memberat.

"Da-dari kertas."

"KERTAS APA?! NGOMONG YANG JELAS!"

Muthe terlonjak, dia mengangguk kaku, keringat dingin mulai muncul di keningnya. Dia takut, Christy benar-benar akan membunuhnya jika ia salah bicara.

"Apa yang lo tau tentang ramuan itu?"

Christy menelan salivanya tegang, lalu mengangguk lagi. "Ra-ramuan itu ada satu di Combined District, ramuan itu beda dari ramuan penawar racun yang didapat salah satu peserta."

"Terus?"

"Ramuan itu bisa membunuh orang yang merupakan lawan dalam waktu lima detik aja. Orang yang minum ramuan itu organ tubuhnya bakal pecah, itu yang menyebabkan kematian. Tapi, ada satu hal..."

Christy mengangkat satu alisnya. "Apa?"

"Kalau ramuan itu diminum sama pemiliknya- peserta yang dapet itu - justru dia gak bakal mati, karena ramuan itu sudah dimodifikasi untuk gak nyelakain pemilik ramuan."

"Hmm, menarik juga," gumam Christy sambil mangut-mangut mengerti. "Habis itu?"

"Ga-gak tau, gue cuma baca sampe si-"

"BODOH! TERNYATA LO SAMA GAK BERGUNANYA KAYAK ELI!"

BUGH!


















Pukulan mendarat di wajah Muthe, pemuda itu sampai tersungkur saking kuatnya. Christy mengerang sambil mengusak rambutnya, kenapa semua ini begitu sulit?!

Christy menarik kerah pakaian Muthe, menyeringai tipis penuh ancaman. "Ayo cari ramuan itu, bunuh siapapun pemiliknya, lo gak mau mati di tangan gue, kan?"

Comment