04

Dua perempuan ini celingak-celinguk kesana kemari untuk memastikan tempat ini aman dari peserta lain atau tidak.

Deretan tas terpampang jelas dan nyata di depan sana, tas bernomor itu terlihat bersinar di matanya. Seperti efek ingin bertahan hidup menggebu-gebu.

"Gre, gue liat ke belakang dulu ya! Siapa tau ada pemain lain."

Perempuan bernama Gracia itu hanya mengangguk setuju.

Kakinya maju melangkah maju ke salah satu tas disana. Dengan sangat riang ia mengayun-ayunkan tangannya ke depan dan ke belakang, begitu seterusnya dengan arah berlawanan.

"Pilih tas asal aja deh, Base berapa ya? Base 4!"

Dengan riang ia menuju tas bernomor satu dan memeluknya erat-erat, tasnya berat juga.

"Eh eh! Kasih tas nya gak!" Seru perempuan lain sembari menghampiri nya lewat belakang.

"Siapa cepat, dia dapat!" Ralas perempuan ini sambil memelototkan matanya.

"Gak bisa gitu! Gua mau tas yang lo ambil!"

"Kok maksa sih? Woi, Jangan di tarik!"

Alhasil terjadilah asik tarik-menarik tas bernomor satu itu, keduanya tidak ada yang mau mengalah. Mereka malah semakin kuat menariknya, tidak ingin melepaskan tas itu.

Tas aja diperebutkan.

"Lepasin kocak! Tas lain masih banyak!"

"Enak aja, seharusnya lo yang ambil tas lain! Kan gua duluan yang ambil tas ini."

"Heh tas ini gua duluan yang li–"

Ctak!

Perempuan asal Base 4 ini menodongkan pistolnya, sorot matanya tajam tak main-main, membuat Perempuan di depannya membeku dan melepaskan tas itu.

Astaga, kenapa Perempuan berparas cantik itu terlihat menyeramkan?

"Ambil tiga tas itu dan ikut gua sekarang, gak pake lama," ucapnya lalu menodongkan pistolnya ke arah lain, terlihat waspada.

Mau tak mau dia setuju, dia masih ingin hidup bro. Masa di hari pertama sudah kalah? Dia tidak mau membuat warga tempat ia tinggal kecewa.

"Ayo ikut gua ke arah sana! Dan jangan sampai tertinggal."

"Oke," Jawab dia sedikit gugup.

Perempuan berparas cantik itu berjalan terlebih dahulu dan memasuki hutan, disusul olehnya. Menuruni daratan yang menurun, melompati bebatuan, sesekali bersembunyi dibalik pohon, hingga akhirnya sampai disebut goa yang tidak terlihat bila dilihat tanpa diteliti.

"Loh, mereka berdua siapa?!" Pekik orang yang ada di dalam dengan kaget.

"Cuma orang yang gak sadar ada bahaya di dekatnya," jawab pemuda itu datar. "Eh kasih satu tas nya ke temen gua."

"E-eh, iya.."

Perempuan yang sedang memijatkan kakinya tersebut geleng-geleng kepala, "Freya, Freya, anak orang dibikin takut."

"Salah dia sendiri bikin gua kesel."

"Terserah deh, oh ya nama lo siapa?"

"Gua Feni, dia Gracia"

"Oke! Gua fiony dari Base 4! Yang tadi namanya Freya, dua orang yang di ujung sebelah kiri namanya Olla, dan di sebelahnya Jessi. Salam kenal ya, anyways dari Base berapa?

"Base 1.."

Fiony mengangguk ngerti sambil menelan slavina, Aduh mampus dari Base 1! Gak sopan tadi ngomong pake gua-lo! "Ah okeyy... kalian ga perlu takut sama kita ya! Kita gak bakal bunuh siapapun disini kecuali dalam keadaan terdesak. Karena kita bakal coba cari jalan keluar disini."

Gracia mengangguk kaku, sejak tadi matanya tak berpindah dari perempuan bernama Freya itu. Wajahnya sangat manis tapi sifat nya menyeramkan.

Mana dia memegang pistol, apa daya dia yang hanya bergantung pada sebuah belati kecil dan sebuah granat.

"Fre, maksud lo tadi apaan? Kata lo ada bahaya disana," Tanya Jessi yang masih belum mencerna.

Sembari melihat isi tas dan mengeluarkannya, Freya menjawab, "Ada yang ngawasin dia dari jauh, dia ngebidik pake panahnya. Untung mereka berdua gua ajak kesini, karena gua tau mereka ga sadar dan gak bisa berdua doang."

Gracia tertegun, Ya ampun. Dia sudah salah sangka.

"Makasih banyak, Freya. Makasih banyak."

Raut wajah datar yang terlihat di wajah Freya seketika berubah ceria disertai senyum karamel nya.

"Hehe, sama-sama Kak Gracia! Tapi jangan nusuk dari belakang, ya. Nanti gua tembak terus mati deh!"

Oke, Gracia dan Feni menarik kata-katanya.






















































































Mata jeli Zee mengawasi sekitar, tapi lebih fokus ke deretan tas di depan sana. Tersisa enam tas lagi dan sekarang pukul dua siang lewat lima puluh menit.

Dia menatap sejenak Gita yang sibuk mengomel pada Kathrina karena keras kepala ingin kesana sendirian. Dia tersenyum tipis, ternyata ada rekan dari Base yang sama enak, ya... Ah tapi, dia juga punya Marsha.

"Tinggal sepuluh menit lagi, ayo kesana," ajak Zee setelah memastikan kalau Gita mampu untuk bertarung bila terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Dari tadi dong!" Seru Kathrina kesal dan berlari kencang mendahului mereka.

Gita terbelalak. "Kathrina, hati-hati!"

"Hhh, dasar," gumam Gita geleng-geleng kepala, sudah terbiasa dengan sikap Kathrina yang terburu-buru itu. "Kayaknya gua lebih baik disini. Gua pegang panah lo Zee dan lo pegang pistol punya gua, gua bisa jagain kalian dari jauh."

"Gak apa-apa?" Tanya Zee khawatir dan tidak enak. Masalahnya, musuh bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Kondisi Gita tidak sebaik awal, harus ada yang menjaganya.

"Gua bukan anak kecil," sungut Gita, lalu terkekeh pelan. "Susul Kathrina, Marsha dan kembali dengan selamat, ya."

Zee mengangguk, dia pasti selamat, begitu juga dengan Marsha dan Kathrina.

"ARGHHHH!"

Zee menoleh ke depan, ke arah teriakan yang merupakan teriakan Marsha. Dia langsung bersiap dengan pistolnya, Gita juga ikut bersiap dengan panahnya.

Di dekat tas-tas yang tersisa tersebut, Marsha bersimpuh dengan panah yang menancap di betisnya, untung tidak sampai nembus ke sisi lain.

"Kath, tunggu disini," perintah Zee, sebelum maju untuk menolong Marsha dari empat perempuan yang tertawa meremehkan seraya memegang dua tas di depan Marsha.

"Kasian banget kena panah, mau lagi gak?" Tanya pemuda bertubuh tinggi, Raisha namanya.

"Mumpung udah dapet tas, lanjut bunuhin orang, yuk," timpal rekannya, Amanda.

Marsha mendesis, dia lengah. Senjatanya ada pada Zee, dia menitipkannya tadi. Sekarang, hanya kemampuan bela diri yang bisa digunakan. Tapi kakinya terluka, dia harus bagaimana?

"Kak Manda, liat tuh, dia marah."

"Marah karena kesel sama kita kali, kasian deh haha!"

Marsha menggeram marah, dia tidak suka diremehkan. Karena itu, dia mencabut panah yang menancap di kakinya, membuangnya asal, kemudian maju menerjang Amanda dan memukulnya.

"Asal lo tau, gue. gak. suka. diremehin," ucap Marsha penuh penekanan, lalu membanting tubuh Amanda ke tanah.

Raisha tidak tinggal diam, dia mengeluarkan belatinya dan bersiap menikam Marsha dari belakang. Tapi sebuah peluru tiba-tiba melesat dan mengenai punggung tangannya.

"ARGH!"

Tepat sasaran!

"Sha, ambil tasnya dan pergi dari sini!" Seru Zee seraya berlari mengambil tiga tas, satu untuk dirinya dan dua untuk GitKath.

"Ssh, ada temennya ternyata," desis Manda lalu mendorong Marsha dan mengarahkan busur panahnya ke depan. "Raisha, serang dia!"

"Tangan gue sakit, bodoh!" Sembur Raisha emosi.

"Ck, cepet ambil obat dan sembuhin tangannya!" Seru Manda emosi dan ingin melepaskan panahnya.

Wush~ jleb!

Dari jauh, Gita melepaskan anak panahnya dan menancap tepat di pundak Lyn, membuatnya terhuyung sambil mengerang kesakitan.

"Sha, ayo."

Zee melingkarkan tangan Marsha di lehernya, memapahnya agar mudah berjalan pergi dari sana. Namun, Indira menyerang mereka, menabrakkan dirinya ke Marsha dan memukulnya bertubi-tubi.

"Lo gak bakal pergi kemana-mana!"

Zee mendorong Indira mundur hingga jatuh telentang, dia bisa saja menggunakan pistolnya untuk membunuh musuhnya.

Tapi dia tidak bisa, hatinya mengatakan tidak.

"Sha, pergi duluan."

"Mana ada! Mau jadi pahlawan lo?!"

"Buruan pergi!"

Bentakan Zee cukup keras dan mampu membuat Marsha bergidik ngeri, sebenarnya apa yang akan Zer lakukan sih?!

"Kalau lo gak balik, gue sumpahin arwah lo gentayangan disini," ucap Marsha pada akhirnya, sebelum berlari tertatih-tatih membawa satu tas miliknya dan Gitkath.

Zee berdiri beberapa saat, menatap Raisha, Indira, dan Manda dengan perasaan bersalah.

"Maaf..."

Waktu terus berjalan, dia langsung mengambil tiga tas yang tersisa disana dan berlari ke arah lain, menjauhi tempat Marsha, Gita dan Kathrina berada.

Kini, ia membawa tiga tas di pelukannya. Kakinya terus berlari menuju hutan dan berhenti tepat di depan salah satu pohon disana.

Dia tersenyum, lalu meletakkan tas miliknya dan tas yang lain ke tanah, sebelum melangkah mundur secara perlahan.

"Kalian belum dapet tasnya, kan? Sekarang pergi, mereka berbahaya dan jaga diri kalian baik-baik, ya." Begitu katanya, sebelum berlari pergi menuju tempat kedua teman barunya.

Meninggalkan Oniel, Adel dan Lulu yang terdiam tak tahu harus bereaksi seperti apa setelah dibantu oleh orang asing yang tidak mereka kenal.















































District Hurricane, Base 4
Febriola Yaya – Meisie Jessi – Freyana Charlotte – Sofiana Fiony Tantroom

District Hurricane, Base 1
Gracia Abigail – Layla Fenia

Comment