11

"Halo semua, sudah berada di tempat masing-masing, kan? Saya akan memunculkan layar hologram di depan kalian, nanti kalian akan bertatap muka secara tidak langsung dengan peserta lainnya, tidak semua sih... Waktunya setengah jam, tidak kurang tidak lebih. Selamat mengobrol!"

Jadi, para peserta diberikan tempat untuk beristirahat sejenak dan bertatap muka lewat layar hologram. Tempatnya berbeda-beda, ada yang berdekatan ada yang berjauhan. Tapi mereka tidak tahu hal itu.

Marsha menunduk, menatap kaki kanannya. Terdapat luka disana, ukurannya cukup lebar. Kakinya robek ketika melewati sungai karena tak sengaja terkena paku di perahu hasil buatannya, Lia, Ella, Callie dan Kathrina. Parahnya lagi, darah yang keluar saat itu menarik kemunculan buaya sungai, untung saja mereka selamat.

Hhh entah kenapa dia tiba-tiba memikirkan Zee dan Gita, mereka kemana?

"Layarnya udah muncul, tapi kenapa mukanya belum ada, ya?" Tanya Lia terheran-heran.

"Sinyalnya jelek kali, wifi mahal cuy," jawab Ella ngasal.

"Krrsk krrsk..."

Kelimanya menegang, karena terdengar suara grasak grusuk dan layar hologram bergoyang seperti televisi rusak.

Setelah itu, muncul wajah seseorang. Jaraknya cukup dekat sampai membuat matanya saja yang terlihat.

"Waaaa! Ngagetin aja ish!" Seru perempuan lalu mundur sedikit agar wajahnya terlihat.

"Sha, Kathrina, kalian minggir dulu deh," suruh Lia tiba-tiba. "Kalian kan disangka udah kalah sama orang yang mau bunuh lo, kalau mereka tau lo disini, mereka bakal ngincer lo."

"Hmm, oke."

Marsha bergeser dan bersandar ke dinding, dia masih bisa melihat layar hologram walaupun posisinya miring.

"Mana nih si MANDARIN, ditungguin gak muncul," lanjut perempuan tadi.

Hah? Mandarin? Memang ada yang namanya Mandarin?

"Adel!!!"

"Eh, Niel! Lo diselamatin siapa?!"

Perempuan bernama Oniel tersebut tersenyum lebar sambil menunjuk Gracie dan Greesel yang ada di sampingnya.

"Sama mereka, mereka baik banget, Del. Nanti kenalan ya!"

"Halo Kak Adel, aku Gracie! Dia Greesel, temennya Gracie."

Callie jadi gemas sendiri, Gracie sangat imut di matanya. Padahal kamu juga imut, Cal.

"WOI! MANA YANG NAMANYA ADEL HAH?! MANA?!"

Tak berselang lama, wajah Amanda pun nampak di layar. Dia terlihat kesal, apalagi ekspresinya seram. Gracie saja langsung menciut dan bersembunyi di belakang Greesel.

"APA LO?!" Seru Adel nyolot.

"Halo, gue Freya. Btw, gue Fiony, sama Jessi bakal menangin gamenya dong, ahay!"

"Dih, menang aja belom, pede banget," cibir Adel sinis.

Melihat Lia, Ella dan Callie diam saja, Adel bingung sendiri. Mereka kenapa diam seperti patung? Itu bukan efek sinyal jelek, kan?

"Graciee!"

"Huwaaa, Cepio! Cepio ikut game ini juga?"

Perempuan bernama Fiony yang-err, ada di atas pohon itu terkekeh melihat reaksi heboh Gracie, teman masa kecilnya.

"Iya nih, Olla juga..."

"Oh ya? Mana?"

Fiony tersenyum pedih. "Kalah, dibunuh Kak Gracia, Base 1. Gue berhasil lari, gak tau sampai kapan bakal berlindung disini."

"Ya ampun, turut berduka ya, Fiony," kata Greesel, Fiony pun mengangguk.

Amanda yang kesal karena jadi nyamuk dadakan disana langsung menggebrak meja di depannya.

"Woi! Mana yang lain? Kenapa cuma segini?! Mana Christy sama Muthe? MANA?!"

"Kan tadi udah dibilangin gak semua ikut tatap muka, orang tua!" Sembur Adel emosi.

"Heh, nanti kena karma tau rasa lo," celetuk Ella.

"Biarin wleee, yang penting gue imut, cantik plus ganteng, dan pintar."

Oke, berbicara dengan Adel harus memiliki kesabaran yang ekstra. Ucapannya memancing kekesalan sekali, bung.

"Hei, kalian kenapa diem aja? Kebelet?"

Callie tersentak dan buru-buru menggeleng menyangkalnya. "Enggak kok, cuma bingung mau ngomong apa."

"Santai aja kali, ayo ngobrol sebelum mati nanti," kata Amanda asal jeplak.

"Nanti lo yang mati gue ketawain sampe kayang."

"Ihh, kalian bahas apa sih? Gracie bingung."

"Gak bahas apa-apa kok," kata Amanda dengan lembut. Cih, giliran sama Gracie lembutnya minta ampun, kalau sama Adel adu mulut terus.

Hadeh, pusing.

"Eh, itu kok ada yang gak nunjukin diri?" Tanya Lia ketika sadar sesuatu.

Kathrina yang penasaran sedikit maju agar bisa meluhat dengan jelas. Oh, dia tahu. Itu kan ruangan tempat Raisha berada. Tadi orangnya ada kok, tapi kenapa tiba-tiba hilang?

"Orangnya pergi sambil bawa belati," jawab Oniel. "Mukanya keliatan waspada, kayak ada yang dateng ke tempatnya."

Hmm, Marsha rasa tidak seperti itu. Jelas-jelas dia melihat Raisha dan Indira memandangi belatinya berkali-kali sebelum melihat ke arah lain, seperti ingin pergi ke suatu tempat.

Apakah mungkin... Raisha ingin mengalahkan peserta lain diam-diam selagi tatap muka seperti ini?

"Ci, Ella, Callie, Kath."

"Ya?"

Marsha berdiri, menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor karena debu kemudian menggerakkan kepalanya ke samping.

"Ayo pergi sekarang, tatap muka kayak gini cuma mengalihkan perhatian aja. Semua lengah, kita bisa dibunuh kapan aja."




































































"Kalian dimana, Kak Christy, Kak Muthe," desis Raisha seraya memperhatikan sekitarnya dengan teliti.

Amarahnya tak dapat ia bendung lagi, ia akan membunuh kedua orang itu untuk membalas kematian Lyn. Cih, mereka pikir mereka bisa bersembunyi? Raisha dan Indira akan mencari mereka sampai ke jurang sekalipun.

Hatinya dipenuhi dendam, dendam yang membuatnya ingin membunuh siapapun saat ini juga.

Seharusnya dia, Indira dan Lyn tidak datang ke tempat itu, seharusnya Raisha mengajak Lyn mengejar orang itu. Tapi apa daya, semuanya sudah terjadi.

Tapi Raisha dan Indira tidak akan menerimanya, tidak akan sampai kapanpun!

"Kalian dimana?" Gumam Indira sembari terus mencari. Dia naik ke atas puing-puing bangunan, berdiri tegak memandang lurus ke depan.

Ada rumah tak jauh disana, ada cahaya, cahaya api yang bergerak-gerak. Raisha mengulum bibirnya, kemudian menyembunyikan belatinya di punggungnya.

Siapapun yang ada disana, Raisha akan membunuhnya saat ini juga. Kalau orang yang ada disana adalah Christy dan Muthe, tentu saja mereka berdua tidak akan membuang waktu.

"Shh, siap-siap menemui ajal lo," desis Raisha lalu berlari kencang kesana.

Mereka tidak tahu kalau dibawah puing-puing bangunan yang ia injak ada Gita yang bersembunyi.

Gita lega, rupanya bersembunyi di bawah puing-puing bangunan selama berjam-jam aman juga. Ya, walaupun hampir ketauan sama Amanda.

Gita menyandarkan punggungnya, menatap langit gelap dan penuh bintang.

"Kath, Zeesha, gue harus gimana sekarang?"

Entahlah, Gita merasa dirinya tidak akan bertahan dalam waktu lama. Permainan akan selesai dua hari lagi, masih banyak peserta yang bertahan.

Dia pesimis karena kondisinya sekarang, pikirannya mengatakan kalau ia akan kalah, entah dibunuh oleh siapa.

Busur panahnya ada pada Muthe, sekarang ia hanya bergantung pada sebuah pisau kecil yang ia temukan dari dalam tas Christy yang ia bawa.

Dia tidak yakin, apakah ia bisa?

"Dicariin kemana-mana, ternyata disini."

Deg!

Oh tidak, ada yang menemukan tempat persembunyiannya.























































"Gitara Alice out."







































































District Hurricane, Base 2
Gitara Alice - Out

Game Over

Comment