Chapter 7 - blue devils


"I'd rather have broken arms, than a broken heart"


Waktu menunjukkan pukul 9 malam, member telah menyelesaikan konser tur mereka di Jepang. Beberapa member sudah tertidur, V dan Jimin menyetel alarm mereka supaya bisa bangun tepat pukul 12 malam. Karena sebentar lagi adalah ulang tahun Jhope yang ke 26. Mereka berencana memberikan kejutan untuk Jhope di V Live. V barusan mengganggu Jhope yang sedang melakukan V Live, dirinya kembali ke kamar, sempat berpapasan dengan beberapa fans Jepang yang sengaja menguntit mereka.


Dari arah samping di lorong hotel, tiba-tiba Jimin muncul disebelah V dan berpamitan ingin tidur duluan, lalu dia masuk ke dalam kamarnya, yang terletak persis di sebelah kamar V.


Di dalam kamar, Jimin merasa kedinginan, dia hanya mengenakan kaos hitam dan celana panjang hitam. Dikenakannya hoodie warna orange disampingnya, lalu merebahkan diri di kasur. Belum sedetik merebahkan diri dikasur, ponsel Jimin bergetar, ada pesan chat masuk. Jimin membaca pesan yang masuk, dia hampir tidak percaya dengan pesan yang diterimanya, dipandanginya layar ponselnya berkali-kali, dibacanya perlahan, dipikirkan sejenak, lalu dibaca ulang lagi, lalu tiba-tiba jantungnya menjadi berdebar kencang, dia membalas pesan itu segera.


Beberapa menit kemudian, Jimin membuka pintu kamarnya, kepalanya menyembul sedikit, melongok kekiri dan kekanan, melihat kalau-kalau ada sasaeng fans yang menunggu dan mengawasi mereka, ternyata lorong hotel sepi.


Jimin menarik tudung hoodie orange nya ke depan, sehingga menutupi separuh wajahnya, lalu bergegas keluar kamar menuju lift. Di dalam lift, dia menekan pilihan tombol 'RG', yaitu Rooftop Garden.


Jimin tiba di taman rooftop hotel, dirinya terengah-engah, seperti terburu-buru mengejar waktu untuk bisa sampai ke rooftop, dia mengecek jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 23.10.


Di rooftop hotel, angin berhembus kencang, gemerlapan lampu-lampu kota Tokyo tampak memukau.


Ada taman berukuran kecil terletak di sudut rooftop, berbentuk bundar, dengan jalan setapak dari bebatuan alam, dengan diterangi lampu taman yang tertanam di bawah. Di sudut taman terdapat bangku menghadap kearah pemandangan kota Tokyo di malam hari.


Jimin menoleh ke kiri dan ke kanan, matanya tertuju pada bangku di sudut taman, ada sesosok cewek sedang duduk di bangku, mengenakan rok panjang berwarna hijau muda, ber-hoodie krem, berponi lurus, berambut panjang sebahu. Jimin mendekat ke arah cewek yang sedang duduk tersebut. Cewek itu mengenali Jimin, lalu tersenyum manis ke arah nya. Jimin balas menyapanya,


"Nana - noona...maaf menunggu lama..." suara Jimin masih tersengal antara mengatur nafas dan mengontrol debaran jantungnya karena terlalu bahagia.


"Tidak apa-apa Jimin-ah, kau yakin sudah tidak ada yang mengikutimu, kan?"


Jimin mengangguk, lalu duduk disamping Nana. Dirinya menghela nafas dalam-dalam, karena gugup luar biasa, sejak beberapa tahun terakhir, baru ini dirinya merasakan gugup ketika berhadapan dengan cewek. Rasanya lebih menegangkan daripada menunggu giliran perform di panggung Billboard, batin Jimin.


"Selamat ya, konser kalian berjalan lancar."


"Terimakasih noona, ah.. semua berkat kerjasama yang baik, dan staff...tentu saja". Jimin melirik Nana yang sedari tadi menundukkan wajah.


"Maaf merepotkanmu. Seharusnya kau beristirahat, kau harus keluar malam-malan dan mengendap-endap seperti ini.", Nana menatap Jimin. Dilihatnya wajah Jimin yang nampak lelah, dan sepertinya baru selesai mandi karena sebagian rambutnya masih basah, warna blonde rambut Jimin jadi makin berkilau tertimpa lampu taman dari arah bawah bangku mereka duduk.


"aku belum akan tidur kok, sebentar lagi kami akan memberikan kejutan untuk Jhope, pasti seru..kami akan masuk ke kamarnya ketika dia sedang V Live", Jimin berkata dengan riang dan sedikit tertawa.


Hati Nana berdesir, ketika mendengar kata Jhope disebut. Tetapi dirinya masih menyimpan rasa penasaran, apakah Jimin tahu kalau dirinya menyukai Jhope. Saat ini dirinya hanya ingin tahu satu hal, tentang jam tangan yang Jimin pakai. Begitu Nana melihat pergelangan tangan kiri Jimin, ternyata jam tangan itu masih ada di sana.


Jimin menyadari kalau Nana memandangi jam tangannya, "Sepertinya kau begitu penasaran dengan jam tangan ini..Kenapa?"


Nana terdiam sejenak, tapi apa boleh buat, dirinya hanya bisa mengangguk. "Apa Jhope tidak memberitahumu sesuatu tentang jam tangan itu?"


Hawa dingin menyeruak diantara mereka, perasaan Jimin makin berdebar dan tegang.


Sambil tersipu malu, Jimin mengangguk dan menatap wajah lembut Nana yang makin terlihat cantik karena tertimpa pendaran cahaya di sekitar mereka.


"Noona... Aku sudah lama menunggu kesempatan berbicara denganmu. Tetapi ngomong-ngomong..terimakasih ya, kau sudah memberiku jam tangan ini.... Jhope hanya bilang, kau memberikannya untukku".


Jimin tersipu malu sambil mengangkat tangan kirinya dihadapan Nana, jam tangan perpaduan warna hitam dan silver masih melingkar disitu.


Mata Nana melebar karena terkejut, ternyata Jhope tidak menceritakan apapun, terutama bagian dimana seharusnya jam itu adalah pemberiannya untuk Jhope, bukan untuk Jimin. Jhope sudah sepakat akan memberikan jam itu kepada seseorang yang ternyata menyukai Nana diam-diam. Nana akhirnya yakin bahwa selama ini yang diam-diam menyukainya adalah Jimin.


Nana berusaha berpikir jernih dan tidak terbawa perasaan. Ada rasa kesal pada Jhope muncul di hati Nana, Jhope ternyata memberikan jam itu kepada Jimin tanpa memberitahukan apapun, Nana berpikir mungkin Jhope menjaga perasaan Jimin. Tapi itu sudah kesepakatan Nana dengan Jhope sebenarnya, tetapi entah kenapa Nana merasa kesal.


Jimin masih memandangi Nana, menunggu respon darinya.


"Jimin-ah, kau boleh menyimpan jam tangan itu. Tapi Aku mohon kau tidak salah paham..".


Nana merasa harus meluruskan semua ini, sebisa mungkin tanpa melukai perasaan Jimin. Saat ini tiba-tiba pikiran dan hatinya langsung melayang pada Jhope, hanya Jhope yang selama ini ada dipikirannya.


"Jadi, sebenarnya noona memberikan jam ini kepadaku, hanya sebagai hadiah biasa atau ada maksud lain? " Jimin kebingungan mencari kata-kata yang tepat karena salah tingkah. Dia merasa yakin, Nana memberinya jam tangan lewat Jhope karena Nana menyukainya.


Nana menghela nafas dalam-dalam, menatap Jimin lalu tersenyum hingga lesung pipitnya terlihat. "Jimin-ah, apakah kau benar-benar menaruh perasaan padaku? Kau benar-benar menyukaiku?"


Wajah Jimin langsung merona merah, dia berusaha menahan malu sambil sedikit menunduk, angin kencang disekitar mereka membuat suasana makin mendebarkan, tudung hoodie Jimin terlepas kebelakang tertiup angin, sehingga terlihat jelas wajah Jimin oleh Nana. Rambut blonde nya benar-benar acak-acakan. Sama dengan perasaan Jimin saat ini.


"Noona, aku..aku..", ada jeda sejenak, lalu Jimin menguatkan hatinya. "Aku ...sudah menyimpan perasan ini sejak lama..semenjak dirimu menguruskan semua keperluan ku dua tahun lalu. Kau sungguh detail memperhatikanku sejak sakit radangku kambuh, mulai dari obat-obatan dan pakaian hangat yang kau persiapkan khusus untukku waktu itu..dan kau sempatkan untuk membuatkanku bubur ketika maag-ku kambuh. Aku ...aku sungguh tersentuh dengan setiap detail perlakuan noona padaku.."


Poni rambut blonde Jimin tertiup angin kesana kemari, Nana masih memandanginya tanpa ekspresi.


"Bolehkah aku mendapatkan kesempatan dari noona untuk membalas semua yang sudah noona lakukan padaku? Berikan aku kesempatan untuk mencintai Noona...".


Nada suara Jimin semakin lirih seperti nyaris tak terdengar, tapi penuh dengan tekanan. Kini ekspresi Jimin, jauh lebih serius dari sebelumnya.


Terjawab sudah semua dugaan Nana. Jimin benar-benar menyukainya. Dan kini Jimin mengajaknya menjalani suatu hubungan serius, menjalani fase baru dalam sebuah hubungan dimana mimpi Nana untuk menjalani fase tersebut selalu muncul di pikirannya seandainya Jhope mau membalas perasannya.


Dia tidak menyangka, dirinya mengharapkan fase itu hadir pada Jhope, dan kini Jimin berharap fase itu hadir pada Nana.


Angin dingin kembali menyapu sekitar mereka, Nana menengadah sambil memasukkan kedua tangannya di saku sweater nya, melihat kearah langit malam Tokyo yang kelam tanpa taburan bintang sedikitpun. Lalu dirinya menatap Jimin dengan lembut sembari tersenyum,


"Aku minta maaf, Jimin-ah.." Nana meraih kedua tangan Jimin, diletakkannya diatas pangkuan Nana. Keduanya kini saling berhadapan, Nana melihat wajah penasaran Jimin sedang menanti jawaban. "sepertinya aku belum bisa memberimu kesempatan itu, baik saat ini hingga entah kapan..".


Kedua bibir Jimin kini terkatup rapat, rasa debaran di hatinya itu kini sontak hilang. Jimin gusar dan mencoba bertanya putus asa, "Tak bisakah kau sehari saja mencintaiku, walaupun itu hanya berpura-pura?"


Nana menggeleng, "Jimin-ah, aku lebih nyaman apabila kita masih bisa berteman seperti biasanya, tanpa perlu ada rasa saling membohongi satu sama lain. Masih bisa saling bercanda tanpa ada rasa canggung diantara kita".


Jimin tersadar bahwa perkataan Nana ada benarnya, rasanya lebih menyakitkan apabila seorang yang kita cintai hadir untuk kita hanya fisiknya saja tanpa kehadiran jiwanya untuk mencintai secara utuh. Apabila mereka menjalin hubungan, itulah yang akan terjadi, pikir Jimin.


Dirinya lalu menarik tangannya dari Nana dan mengusap-usap sendiri kedua tangannya untuk menghangatkan badan dan mengurangi rasa canggung.


Jimin merasakan kekecewaan berkecamuk dalam dirinya, dia mengerahkan seluruh pikirannya untuk mengendalikan semuanya.


*** to be continued***


Comment