Two

Naya sudah menunggu di lobi kantor PPAR seperti biasanya. Lola dan Mira dua resepsionis yang telah dikenalnya itu memintanya menunggu di ruang tamu karena pria yang dicarinya sedang keluar sejak jam sebelas siang tadi.

Semenjak hubungan mereka semakin dekat tiga tahun yang lalu, wanita 32 tahun itu selalu  rutin mengiriminya makan siang. Naya sangat senang dengan perkembangan hubungan mereka yang  dirasanya begitu cepat  berkembang pesat. Setelah ia merasa seolah menabrak dinding karang yang seolah kokoh membentengi hati lelaki yang dikenalnya sejak lama itu.

Perkenalan itu sendiri bermula ketika Naya yang adalah seorang relawan di sebuah LSM perempuan membagi- bagikan brosur kegiatan konsultasi dan pemeriksaan gratis untuk para remaja perempuan dan ibu rumah tangga. Ketika itu hari Jumat siang. Bersamaan dengan membagi-bagikan nasi kotak. Saking panasnya, nyaris saja perempuan itu terkena heath stroke. Hampir ia terserempet Jeep Cherokee yang dikendarai Eka saat itu.

Tentu saja akhirnya Eka meminggirkan mobil dan menolong Naya. Melihat penolongnya adalah seorang lelaki berparas tampan yang jantan, Naya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia pun akhirnya gigih mendatangi Eka di kantor dengan banyak modus.

Awalnya Eka menolak kehadiran perempuan itu. Tapi karena bisa dibilang Naya adalah tipikal perempuan yang kalau sudah kemauan keras akan berusaha mewujudkannya, akhirnya Eka mulai  luluh. Tetapi hingga detik ini, lelaki itu belum berhasil ditaklukan oleh Naya. Dan perempuan itu menjadi begitu gemas sendiri.

Setelah hampir bosan menunggu, perempuan itu dapat bernapas lega, manakala sebuah Pajero sport hitam memasuki area pabrik dan berhenti di area parkir yang hanya dihuni tiga mobil.

Eka ke luar dari mobil hanya dalam balutan kemeja warna biru yang lengannya sudah digulung sebatas siku dan celana pantalon hitam. Rambutnya acak- acakan. Meski sudah berusia  kepala empat, Naya masih dapat melihat sifat kekanakan pada diri pria itu.

"Hai," Naya bangkit untuk menyapa pria itu. Rantang empat susun duduk manis di sampingnya. Isinya adalah nasi, rendang daging , sambal goreng kentang dan hati sapi, sayur tauge dan tahu, serta aneka gorengan. Kesemuanya itu favorit lelaki itu.

Eka yang tadinya berjalan dengan kepala tertunduk, kaget melihat perempuan yang sudah tegak di hadapannya itu. Dalam balutan atasan merah marun dan rok cokelat kopi dan riasan yang terbilang mencolok untuk siang hari.

Semua orang di PPAR tahu bahwa Naya jatuh cinta dan berusaha untuk menarik perhatian lelaki itu. Hanya saja Eka tidak pernah sadar. Karena baginya, Naya adalah teman. Tidak lebih.

"Hai..." Eka memang agak kaku kalau soal perempuan. Dia tidak seperti dua koleganya yang begitu mudah berakrab- akrab ria dengan orang baru.

Maklum saja, sejak dulu Eka hanya tahu bergaul dengan mesin- mesin, komputer, dan segala sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kefemininan. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

" Sudah lama?"

"Sejak jam sebelas tadi, sih." Wajah itu terkesan agak merajuk. Eka meraup bagian belakang kepalanya. Tidak tahu harus berbuat apa. Bersikap bagaimana. Ia merasa ada yang aneh. Tapi tidak tahu apa itu.

Dirinya memang menyukai Naya, hanya saja rasa suka itu tidak spesifik nengarah ke sesuatu yang bersifat asmara. Terlebih setelah dia mendapatkan tawaran menggiurkan dari Pak James. Tawaran yang jelas - jelas terlalu sayang untuk diabaikan. Dan sejak tugas yang diberikan  pria itu untuk menjemput putri manjanya di sebuah night club di Bintan, ia belum bertemu kembali dengan gadis itu.

Harus Eka akui, bahwa Dayana memang punya pesona yang membuat iman lelaki rontok. Dan entah sejak pertama kalinya ia berjumpa dengan gadis itu, entah mengapa ada yang aneh dengan otaknya. Dia selalu memikirkan ketika gadis itu menutup matanya. Wajahnya begitu innocent dan tak berdosa.

"Aku bawain kamu makan siang!" cetus wanita itu dengan agak terlalu riang. Tangannya mengacungkan tantang tiga susun ke arah Eka. Membuat lelaki itu mendadak terseret dari lamunannya tentang Dayana.

Sepertinya, dia sudah melupakan kekecewaannya. "Atau kamu sudah makan di luar?"

"Mmmm..." Eka merasa serbasalah. Dia memang sudah makan. Tapi dia tentu saja tidak mau membuat perempuan itu merasa ditolak. " Aku memang sudah makan tadi bareng teman." Ujarnya pada akhirnya.

"Tapi sekitar jam tiga biasanya aku lapar lagi. "

"Ya udah," terdengar helaan napas panjang. Lalu Eka menjadi tidak enak ketika melihat raut gusar mewarnai wajah cantik itu.

Naya memang cantik. Dia juga dewasa. Sebetulnya, bila Eka berniat mencari istri, perempuan seperti inilah yang seharusnya dicari olehnya. Karena menurutnya, Naya akan menjadi istri yang perhatian dan penurut.

Tapi sayangnya tidak sedikit pun hatinya tergetar pada perempuan ini. Dan dia belum cukup putus asa untuk menjerat seseorang ke dalam labirin kehidupannya yang dirasa amat datar dan menjemukan.

Meski belum pernah mengalami kisah cinta yang amat fenomenal seperti yang kerap diceritakan oleh Handry, yang jadi satu- satunya pria menikah di antara mereka bertiga, paling tidak, Eka mendambakan sensasi lain ketika akhirnya ia menemukan sosok yang bisa diajaknya untuk membangun rumah tangga.

Yang artinya entah kapan hal itu akan terjadi. Atau bisa dikatakan hal itu tidak akan pernah terjadi.

***

Daya sedang kesal setengah mati. Semalam ia terjebak dalam euphoria karena salah satu kenalannya menawarinya untuk jadi brand ambassador sebuah produk kosmetik bernama In My Blue.

Daya dengan senang hati menerima pekerjaan itu. Mengingat keuangannya sudah tidak lagi disokong oleh BOD alias Bank of Daddy . Hanya saja, dirinya tak tahu bahwa yang akan jadi partner nya adalah Claudine Soerjonodiningrat-- Make Up Artist-- yang dulu pernah ribut- ribut dengannya.

Daya kesal setengah mati. Dia memprotes Arneta, pihak dari In My Blue,  bahwa dirinya menolak untuk dipasangkan dengan Claudine.

"Tapi Claudine sudah kerja sama bareng kita selama tiga tahun ini!" tegas Arneta. "Kamu nggak bisa seenaknya minta kami buat batalin kerja sama kami yang sudah berlangsung lama. Kinerja Claudine sudah terbukti sangat memuaskan. Kalau kamu tetap nggak bersedia dipasangkan dengan Claudine, kami bisa cari influencer lain. Yang lebih bagus dan nggak  arogan!"

Tentu saja Dayana tersinggung dengan kata- kata Arneta itu. Dia memang lagi butuh banget kerjaan. Tapi dia jelas tidak sudi kalau harus dimaki - maki begini.

Gila! Dia ini kan influencer yang sudah terkenal. Tarif endorsementnya cukup tinggi. Setara dengan Rachel Venya. Seenaknya saja membentaknya seperti membentak seekor anjing!

Dan karena Arneta sialan itu, Daya  berakhir dengan menghabiskan malamnya di Echidna.

Minum sampai mabuk. Untung saja ada Jesse. Jadi meski sambil menyumpah- nyumpah, pria melambai penggemar Conchita  Wurst itu bersedia menjemputnya ke Echidna, ketika pihak kelab meneleponnya pada jam dua pagi.

Dan karena Daya tahu bahwa Stefan, pacar Jesse lagi ada di Jakarta, actually ada di apartemen milik Jesse yang jadi tempatnya menginap beberapa  hari ini juga, tentu saja pria itu tidak bersedia mengantarkan Daya pulang ke apartemennya di Setiabudi.

Jadilah pilihan Daya hanya satu. Memanggil taksi. Diperintahnya taksi itu untuk meluncur ke kantor In My Blue yang ada di kawasan Bintaro.

Untung saja dia sudah sempat bertukar pakaian. Saat ini dia mengenakan mini dress berwarna putih yang memperlihatkan lekuk tubuh sempurnanya yang menggiurkan.

Satpam di depan ruko yang dijadikan kantor itu pun sampai terbengong- bengong melihatnya. "Permisi, Pak." Ujar Daya. "Mau ambil mobil. "

"Mobil yang mana, Neng?"

"Yang itu," Daya menunjuk ke mobil yang terparkir di carport. Memang hanya ada satu mobil yang terparkir saat itu. Mau yang mana lagi? Daya mulai kesal. Dia ingin segera mendapatkan mobilnya lalu pulang dan berendam di apartemen. Dengan garam mandi dan bath bomb beraroma bunga mawar dengan kesegaran mewah yang akan membuatnya rileks.

Tapi satpam ini sepertinya ingin mempersulit Daya untuk mendapatkan mobilnya dengan cepat.

Salahnya sendiri. Kemarin dia terlalu emosi, dan karena malas banget menghadapi kemacatan Jakarta yang seolah-olah sudah jadi kutukan seumur hidup bagi warganya, ke luar dari ruko bertingkat empat itu, Daya langsung menyetop taksi biru yang kebetulan melintas di depan area perkantoran tersebut.

"Sudahlah, Pak." Daya akhirnya mengeluarkan jurus terakhir. Ia mengaduk- ngaduk tote bag Celine yang dikempitnya di bawah lengan dan ketiak. Ia mencabut selembar uang seratus ribuan dan mengibarkannya di depan satpam itu.

Urusan segera beres. Pak satpam berkumis ala ikan lele itu nyengir- nyengir tak jelas. "Ini asli kan, Neng?" Dia membentangkan uang itu ke arah sinar matahari. "Tentu saja asli, Pak. Masa orang secakep saya doyan nipu, sih?!"

Pak satpam kemudian membuka gerbang. Mempersilakan Daya masuk untuk mengambil mobilnya.

Sayangnya, kesialan datang tak sampai di situ saja.

Tepat ketika dirinya sedang berjibaku bersama para warga ibukota lainnya, menunggu lampu merah berubah jadi hijau, tiba- tiba ada orang yang mengetuk kaca mobilnya.

Orangnya tinggi besar. Mengenakan jaket kulit (idih panas- panas begini sempat- sempatnya mikir pakai jaket kulit!), matanya jelalatan, saat Daya masih mencerna apa tujuan pria itu berdiri di luar jendela mobilnya, sebuah pisau terhunus. Dan mulut pria itu komat- kamit.

Daya ditodong.

Oke. Penodongan di kota besar bukan sesuatu yang baru. Mobil Daya berada tepat di bahu jalan, dan mobil- mobil lainnya seolah tak melihat penodongan itu, karena penjahatnya berdiri di tepi jalan. Tidak di tengah jalan. Dan pisaunya bersembunyi di balik jaketnya.

Daya berkeras untuk tidak menuruti perintah tukang todong bertampang residivis itu. Tapi mulut pria bermata tajam dan nyalang itu tetap berkomat- kamit. Tangan Daya yang mencengkeram setir dengan erat, mulai berkeringat dan licin.

Kalau saja suasana hatinya lagi bagus, mungkin ia tidak akan segugup ini. Tapi karena kekesalannya masih belum mereda, gadis itu merasakan kegentaran yang menyelimutinya.

Menit berikutnya, terdengar suara "klik...klik!" si penodong memaksa mencongkel pintu. Namun lampu segera berubah menjadi hijau. Dan bunyi klakson bersahut- sahutan memekakkan telinga. Dan sebelum Daya sempat tancap gas, pria itu tampak membungkuk. Hanya jarak beberapa meter kemudian, mobilnya berhenti mendadak.

Rupanya pria tadi telah menyobek ban depan Dayana.

***

Untung Daya berada di Indonesia, di mana tukang teh botol dan penjaja minuman banyak bertebaran di sepanjang jalan. Ia sudah menelepon kakaknya. Tapi Carr sedang tur album  Asia Tenggara. Dan saat ini berada di Brunei Darussalam. Om Nares sedang berbulan madu untuk yang kedua kalinya ke pulau Derawan, Sementara Jesse kalau ada Stefan pasti ogah dipaksa ke luar dari kamarnya.

Yang tersisa hanya daddy. Ayahnya mau membantu, tapi setelah mengomel panjang lebar. "Kayak gitu yang kamu bilang sudah bisa mandiri? Mobil mogok saja masih cari bantuan Daddy!"

Daya mengerang putus asa. "Ayolah, Dad... Ini urgent banget. Aku berada di perempatan jalan. Semua orang udah pada melototin aku. Mobil bagus kok mogok di perempatan! Dan demi Tuhan, Daddy! Aku barusan ditodong, lho. Di. To. Dong. Emangnya Daddy nggak takut kalau aku lewat di jalan tadi?" cara bicara Daya semakin membuat James pusing .

Anak perempuannya memang menjadi sumber sakit kepala. "Ya sudah, " ujar James akhirnya. "Kamu tunggu saja. Nanti Daddy kirim orang ke sana. "

Dan orang yang dikirim oleh James rupanya sangat menarik bagi seorang Dayana.

Tinggi-- bukan-- melainkan jangkung. Mungkin sekitar 180 sentimeter. Dengan bahu lebar, perawakan kekar. Punggungnya terlihat kokoh. Kakinya panjang. Ia mengenakan kemeja cokelat berlengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana hitamnya.

Rambutnya yang hitam tampaknya sudah harus dipangkas. Panjangnya sudah melebihi tengkuk. Sepasang alis lebat dan hitam menaungi sepasang mata yang segelap malam buta . Bulu matanya yang lentik menerbitkan rasa iri di hati gadis itu. Oke, mungkin bulu mata Daya pun juga terlihat lentik. Tapi tidak selebat milik pria yang tengah menatapnya dengan tatapan jengkel?

"Mana ban yang katanya bocor?" tanya pria berhidung tinggi itu. Daya mengernyit ngeri ketika menatap bibir yang warnanya nyaris ungu tersebut. Mungkin pria ini seorang pecandu berat nikotin.

"Yang depan. " Ujar Daya. Jauh dari kata ramah. "Kanan tuh!" tangannya terlipat di depan dada. Dagunya terangkat dengan gaya angkuh. "Kok aku nggak lihat mobil bengkel yang biasanya?" tanya Daya dengan gaya menantang. Ia juga sebenarnya ragu, kalau pria ini datang dari bengkel langganan sang ayah.

Dia terlalu ganteng untuk jadi montir. Lebih dari itu pakaiannya juga terlalu rapi.

Pria itu menegakkan tubuh setelah selesai memeriksa ban mobil yang rupanya bukan cuma bocor. Melainkan juga koyak.

"Kamu apakan ban mobilnya?" pria itu berkacak pinggang, menatap Daya penuh dengan tuduhan. Tipe- tipe gadis manja seperti ini, Eka yakin, pasti rela melakukan apa pun demi bisa meraih perhatian sang ayah. Termasuk merobek ban mobil. Dan bukan sembarang mobil. Ini Porsche Cayenne.

"Ini harus dibawa ke bengkel."

Kalau itu sih, Daya juga tahu. Mobil rusak ya mesti dibawa ke bengkel. Masa ke kolam renang umum! "Ya bawa aja sih. " Sahut gadis itu enteng. "Bukannya kamu itu montirnya?"

Dan tatapan pria itu bagaikan ilusi laser yang dapat mencacah tubuh Daya menjadi potongan kecil - kecil.
****

Comment