One

"Dijodohin? Ekadanta? Siapa pria ini? Daddy mungut dari mana?" Daya langsung saja bangkit dari kursi. Kunjungan Sabtu paginya ke rumah Menteng berubah jadi bencana.

Tadinya ia ingin menemani maminya ke salon langganan untuk perawatan rutin Mingguan yang sudah mereka sepakati bersama, berhubung Daya saat ini tidak punya sahabat  perempuan di Jakarta yang biasanya bisa diajak nyalon bareng sembari bergosip.

Gianna sedang ada di Surabaya, sementara Pia--- Olivia---  semalam gadis itu meneleponnya seraya tak berhenti mengumpat sebab ayahnya memaksa gadis malang itu untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Jogja .

Sementara Annika? Sekarang ini mungkin dia sedang melakukan pijat di spa di belahan bumi yang lain--- alias di Antigua. Yah, that  lucky bitch dibawa suaminya berbulan madu ke Antigua dan Barbuda dan entah ke mana lagi . Meninggalkan Daya di Jakarta merana seorang diri tanpa seorang bestie yang membuat hidupnya ramai.

Well , sebenarnya masih ada Jesse Norman sih. Tapi berhubung pacar Jesse lagi di Jakarta, Daya berani mempertaruhkan ankle boots Dior yang  baru dibelinya kemarin itu, kalau si Jesse tidak bakalan mau keluar dari apartemennya saat ini.

Dan sekarang dengan prospek dijodohkan dengan manusia tak dikenal, Daya  merasa hidupnya diambang kematian.

"Daya," tegur Mami, "duduk sebentar..."

"Mi, pokoknya kalau kalian masih bertahan dengan  ide konyol perjodohan itu, aku nggak perlu mendengarkan apa- apa lagi di sini. Lebih baik aku terbang ke Singapura saja menenangkan diri..." Gadis itu memicingkan matanya dengan raut keras kepala khas anak bungsu kesayangan keluarga yang selalu mendapatkan apa yang dia mau tanpa perlu berusaha.

"Singapura? Dengan apa?" James bertanya dengan intonasi yang kedengarannya tentang, namun sarat dengan ancaman.

"Dengan pesawat," sebelah alisnya terangkat . " Semua orang sudah tahu hal itu, Dad. Kalau mau ke S'pore tuh pakai pesawat. Nggak mungkin orang mau ke sana pakai taksi."

"Maksud Daddy, dengan apa kamu membayar tiketnya?"

"Money, of course. "

"Uang siapa?"

"Apa maksud daddy?"

"Kami sudah membekukan rekeningmu. Semua kartumu. Kamu hanya akan menerima dari Arina satu kali dalam sebulan. So, kamu harus belajar mengaturnya, "

"Hah!" Daya memandang bergantian pada kedua orangtuanya dengan sorot mata tak habis pikir--- seolah- olah mereka telah berubah jadi alien berkepala kambing. "Tell me, Mom. Yang dikatakan Dad itu nggak bener kan?" Gadis itu histeris.

"Ini zaman apa? Aku baru setahun yang lalu lulus kuliah. Seharusnya aku pergi ke US untuk lanjut sekolah  desain perhiasan! Seperti kesepakatan kita..."

Sepasang mata berwarna hijau itu menatap bergantian antara mami dan daddynya yang memandanginya seolah dia adalah anak imbesil yang lagi tantrum.

"Tapi yang kamu lakukan belakangan ini meresahkan kami. Ketahuan mabuk di kelab malam, terlibat pesta seks..."

"Tapi aku nggak ngelakuin itu, Mam!"

"Foto- fotomu muncul di beberapa media. Kamu dan Fabrizio." Tandas maminya. "Ada hubungan apa kamu sama dia? Mami membesarkanmu bukan untuk jadi jalang dan muncul di pesta-pesta memalukan itu. Entah apa lagi yang kamu lakukan di luaran sana." Sergah Devia jengah sembari memegangi kepalanya dengan dua tangan.

Belakangan wanita malang itu bahkan tak sanggup lagi menghadiri arisan atau acara- acara amal kaum jetset, takut bila keluarga besar atau para sahabat sosialitanya menggunjingkan atau menanyakan tentang Dayana yang foto berbikininya banyak beredar di media sosial dalam pose- pose yang meresahkan.

Pemberitaan mengenai putrinya baru- baru ini semakin marak setelah si bungsu kedapatan sedang duduk di atas pangkuan Fabrizio Hanzel--- pangeran dari Hanzel Factory.

Semua teman- temannya diam- diam membicarakan kelakuan buruk putri bungsunya di belakang punggung Devia. Dan itu lebih menyakitkan dari pernikahan Reagan dengan sekretaris anak tirinya yang harus diterimanya baru- baru ini. Dia merasa sangat dikhianati oleh keluarganya. Di  lingkar sosialnya sendiri, ia seperti  sudah tidak punya muka.

Padahal, sosok Devia selama ini cukup berpengaruh dalam pergaulan kaum elit Jakarta. Sosoknya yang anggun sekaligus angkuh banyak membuat orang kagum sekaligus benci padanya. Dan karena menyandang nama Senoadji, golongan orang yang berpura-pura jaya itu kerap menjadikan Devia sebagai batu loncatan untuk para gold digger.

"Tapi apakah harus dengan perjodohan, Mi? Kalian ini kenapa kuno sekali?!" Daya  tetap membantah sengit. Hampir- hampir meraung tidak terima dengan keputusan sepihak orangtuanya yang ia nilai sangat merugikan masa depannya.

"Dayana," hardik James. "Lebih baik kamu duduk dan dengarkan kami. " Tegas pria itu, membuat sepasang mata hijau  gadis itu membelalak tak percaya.

James memujanya. Setidaknya kemarin- kemarin, James selalu bilang "ya" pada setiap permintaannya. Tapi hari ini? Mengapa hari ini Daddy nya aneh sekali? Lelaki itu seperti tidak bisa dibelokkan sama sekali. Tidak seperti biasanya.

Oke. Sebagai seorang gadis yang menginjak usia dewasa, Daya tentu mempunyai kekasih. Entah kekasih satu minggu. Kekasih satu bulan. Bahkan kekasih palsu. Dunianya  yang rumit, membuatnya harus menampilkan citra seorang gadis muda yang bahagia dan dikelilingi oleh sekumpulan pengagum. Sayangnya hal itu sangat bertentangan dengan prinsip keluarga besar.

Di keluarga Senoadji dan Rembaka, umumnya para membernya harus merahasiakan kehidupan pribadi mereka. Di luar yang boleh tampak hanyalah prestasi mereka. Semua skandal dan kekurangan harus disembunyikan di kolong tempat tidur.

Dia menyukai pria. Tapi menikah bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkannya saat ini. Menikah sama jauhnya dengan keberadaan planet Pluto atau galaksi Andromeda--- alias tak kelihatan dari bumi dengan mata telanjang. Atau sebenarnya dia belum memikirkan kemungkinan untuk berumah tangga yang baginya begitu rumit.

Daya tidak suka berhubungan jangka panjang. Tidak suka dirinya diatur- atur oleh orang  lain. Seperti yang kerap dilakukan Devia padanya selama ini. Baginya, hidupnya cukup diatur dengan satu orang saja. Dan gadis itu mengasosiasikan seorang suami sebagai tukang mengatur. Atau mahluk yang menjengkelkan dan bisanya cuma bikin kesal. Meski menurutnya ada juga tipe lelaki yang tidak seperti itu. Contohnya adalah Daddy nya sendiri.

Bagi gadis lulusan desain itu, orang- orang yang menikah--- mereka ini bodoh. Dan dia jelas tak mau menjadi salah satu di antaranya.

"Aku bahkan belum membuka galeriku, Dad. Aku kepingin punya galeri perhiasan seperti impianku dulu."

"Tapi yang kamu kerjakan hanya berpesta sepanjang waktu!"

"Mami ..."

"Daya, dewasalah.... " Tegur Devia lelah. 

Sebenarnya wanita itu merasa tak tega, hanya saja belakangan ini, banyak pemberitaan negatif putrinya yang menyeruak ke permukaan, membuatnya menerima banyak teguran dari keluarganya sendiri.

Sebagai keluarga konglomerat dan pengusaha, nama Aldrich dan Senoadji - Rembaka sudah sangat terkenal di Indonesia.

Media tentu saja memburu apapun yang dilakukan oleh anggota keluarga Senoadji atau Rembaka yang merupakan konglomerat sejak sebelum zaman orde baru, dan hal itu tentu saja membuat mereka harus menjaga nama baik di depan publik. 

Kekayaan keluarga Senoadji - Rembaka didapatkan dari berdagang dan perkebunan sejak zaman dahulu kala. Sementara dari pihak Aldrich, membuat klan itu semakin luas mengekspansi bisnis mereka dalam segala bidang.

Jelas, keluarga tak menginginkan hal itu hancur dalam sekejap mata akibat ulah seorang gadis bandel yang tak tahu aturan dan memperburuk citra keluarga besar.

Sekitar setahun  yang lalu, media juga dihebohkan dengan ulah Carrick Xavier Aldrich yang nekat menikahi seorang perempuan bernama Genevieve Hartadi .

Pernikahan itu tentu saja ditentang mati- matian oleh Devia yang menginginkan putranya menikahi gadis dari keluarga yang setara.

Namun mengatur Carrick lebih susah ketimbang mengatur Reagan. Pria itu malah nekat melepaskan atribut Senoadji- Aldrich dan memilih karir sebagai penggebuk drum , model dan aktor yang tampangnya banyak wara- wiri bertebaran  di televisi serta media sosial.

Bahkan, Carr nekat membawa keluarga kecilnya pindah ke Brisbane. Karena dirasa ancaman ibunya pada Viv, semakin tidak masuk akal.

Meski Viv masih sanggup menghadapinya. Akan tetapi, tentu saja Carr tidak terima, bila perempuan yang tengah mengandung bayinya itu tak ada habisnya diteror oleh Devia Senoadji

Mati- matian James meminta Carr kembali ke Indonesia, keluarga terpaksa menyetujui pernikahan putra kedua James- Devia itu.

****

"Bahkan Carr bisa menikahi Genevieve..." Daya masih menggerutu. Kali ini dia sudah bergabung dengan jutaan orang di jalanan Jakarta. Menunggu lampu merah berubah jadi hijau. Mungkin setelah ini dia harus mendatangi Jesse Norman untuk meminta bantuan.

Daya mengetatkan rahangnya. Dia tak mengenali siapa yang hendak dijodohkan dengannya. Ganteng maupun jelek. Muda maupun bangkotan, yang jelas, dia tak akan mau menceburkan dirinya dalam sesuatu yang bernama pernikahan yang akan membuat kebebasannya hilang.

Matanya menatap nyalang pada lautan mobil yang berjubelan di trafic light kawasan Sudirman. Perasaannya sungguh tak karuan. Moodnya jeblok hingga ke level bosan setengah mati.

Biasanya dia mengatasinya dengan pergi belanja atau nongkrong- nongkrong minimal di Singapura atau Hong Kong. Atau kalau sedang sangat stress dan butuh suasana baru, mereka akan terbang ke Paris atau Kanada atau ke London.

Pulang dari sana, moodnya pasti akan membaik dan gadis itu akan siap menghadapi dunia. Namun kali ini tentu tak akan bisa begitu. Sebelum menaiki Porsche Cayenne miliknya yang baru dua bulan lalu dibelikan oleh daddy nya, Dayana sudah mengecek saldo lewat M- banking. Dan dia lebih dari sekedar miskin kali ini.

Sebab jumlah saldonya tak akan bisa untuk membeli sebuah Dior Lady D - Joy  Bag Cannage Lambskin Latte yang saat itu duduk manis di jok penumpang, di sampingnya. Paling- paling hanya cukup untuk jajan empat biji kacamata Dior A1U Acetate Aviator Black.

Sebenarnya, penghasilan dari endorsement cukup banyak kalau gaya hidupnya tidak begitu hedon. Dayana punya kebiasaan buruk yang melupakan apa saja yang sudah dibelinya. Terkadang barang yang sudah ia beli tidak pernah dipakainya sama sekali. Hanya menghuni dasar lemari di walkin closet- nya yang sudah penuh sesak dengan barang- barang.

Maka dari itu uang dari Daddy yang dulunya unlimited sangat membantunya untuk bertahan dan tetap punya kehidupan yang glamor. Tanpa uang dari Daddy, bisa dibilang dia akan jadi gembel di tengah bulan karena kebiasaan belanjanya yang gila- gilaan itu.

Hhhhh...

Mau jadi apa dirinya di masa depan jika fashionnya tidak up to date. Gia pasti menertawainya. Maka dari itu, keputusannya untuk menemui Jesse di salon dan gym milik lelaki itu yang terletak di bilangan Senopati dalam rangka curhat  memang harus segera diwujudkan!

***

"Jadi lo menerima tawaran Pak James?" Marcel menaikkan sebelah alisnya.

Siang itu mereka bersantap di sebuah kafe di bilangan Senopati. Sebenarnya bukan gaya seorang Ekadanta yang sehari- harinya lebih menyukai masakan rumahan untuk makan siang ketimbang makanan bule yang baginya sama sekali tidak mengenyangkan itu.

Namun siang itu rupanya harus menjadi sebuah pengecualian--- Marcel--- sahabat semasa kuliahnya---meneleponnya untuk mengajak makan siang bareng.

Makanan khas Italia. Untungnya kopi kafe itu enak. Jadi, lidah Eka yang puritan agak terselamatkan.

Pria itu mengangkat bahu. "Gosipnya dia menghabiskan malam tahun baru di SG dengan pesta seks," Eka mengatakannya dengan gaya acuh tak acuh. Tidak peduli.

Eka tahu, pernikahan itu tidak akan menyenangkan baginya. Dia sudah melihat gadis liar itu. Selain kecantikannya yang sudah jelas tersohor di kalangan atas Jakarta, tak ada yang patut dikagumi dari gadis muda manja yang tidak punya tata krama itu.

Namun jika ingin mendapatkan limabelas persen saham PT PPAR dari James, pria itu harus menyetujui kesepakatan itu. Selama ini Sanca, Handry dan dirinya hanya memegang lima belas persen masing - masing. Dan ketika ada kesempatan untuk memperbesar jumlah saham, Eka jelas tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Lima belas persen akan sangat membantu. "Tapi dewasa ini aliansi pernikahan memang wajar terjadi dalam hubungan  bisnis. Terlebih yang ditawarkan James lumayan juga. PPAR akan anteng dalam genggaman kalian bertiga," komentar Marcel dengan mimik wajah serius khas ekonom universitas negeri tersohor.

Eka akhirnya tersenyum penuh persetujuan, pada apa yang dikatakan teman lamanya itu, seraya menyesap perlahan  kopinya.

"Sayang sekali lo cuma berminat pada bisnis beginian. Ambisi dan kemampuan lo padahal sangat dibutuhkan di segala bidang. Suatu saat kalau lo sudah bosan mengontrol mesin- mesin itu, lo bisa bergabung dengan Javarama." Tawar pria itu lagi.

Marcel memang tidak pernah lelah untuk membujuk Eka supaya mau bergabung dengan perusahaan milik keluarga Marcel. Akan tetapi, sahabatnya itu selalu melontarkan seribu satu alasan untuk menghindar.

Sudut bibir Marcel terangkat membentuk sebuah senyuman culas.

Eka membalas senyuman itu dengan seulas seringai misterius andalannya. Tak ada yang dapat menebak isi hati pria berusia 38 tahun itu yang sebenarnya.

***  

Comment