03 - Negeri Di Balik Kabut

"Di balik kabut yang tebal, tersembunyi keajaiban yang menunggu untuk diungkap. Di sanalah negeri rahasia yang menanti petualang yang berani menembus kabut itu dengan hati yang penuh keyakinan."

Selamat Membaca Para Petualangku!

***

Di tengah samudra yang luas, terhamparlah Pulau Mirari, sebuah daratan yang megah dan misterius yang tersembunyi di balik kabut tebal. Pulau ini, yang dulunya menjadi lambang kebesaran dan kemakmuran, kini terpecah menjadi lima bagian setelah sebuah kejadian tragis yang mengguncangnya.

Pulau utama Mirari, dengan keindahan alamnya yang tiada tara, terletak di pusatnya. Di sebelah timur laut, terdapat Pulau Whitney yang memancarkan aura kemurnian dengan pantainya yang bersih dan perbukitan yang hijau. Di arah tenggara, Pulau Kamari berdiri megah dengan hutan lebat yang menyelimutinya, menyimpan misteri dan kekayaan alam yang tak terungkap. Sementara itu, di barat daya, Pulau Astrea menampilkan pesonanya yang eksotis dengan pantai berpasir putih dan terumbu karang yang indah. Terakhir, di arah barat laut, Pulau Morana menampilkan pemandangan yang mistis dengan hutan belantara dan pegunungan yang menjulang tinggi.

Meskipun terpecah menjadi lima bagian, Pulau Mirari tetap berada di bawah naungan Kerajaan Kajingga yang telah berdiri kuat selama 50 tahun di tengah samudra Astoria yang luas. Raja Kaito, pemimpin bijaksana dari Kerajaan Kajingga, berusaha menjaga kedamaian dan keamanan di antara pulau-pulau tersebut.

Dengan ukurannya yang besar, Pulau Mirari dilengkapi dengan tiga gerbang yang memungkinkan akses masuk ke daratannya yang megah. Gerbang utama terletak di utara, menjadi pintu gerbang bagi banyak pengunjung dan pedagang yang datang dari daratan utama. Gerbang kedua terletak di dekat Pulau Astrea, memberikan akses ke bagian barat daya pulau. Sementara gerbang terakhir tersembunyi di dalam Gunung Sorin di arah tenggara, menyediakan pintu masuk yang tersembunyi dan aman bagi mereka yang ingin menjelajahi bagian tenggara Pulau Mirari.

'Ιστορία του Mirari'

Dalam sebuah sudut perpustakaan yang tersembunyi di Kerajaan Kajingga, terdapat sebuah buku tebal kuno yang telah berusia puluhan tahun. Halaman-halamannya yang usang menyimpan kekayaan pengetahuan tentang sejarah dan kehidupan di Pulau Mirari. Buku itu adalah harta yang berharga, mengungkapkan rahasia dan keajaiban yang terkandung di dalam daratan yang megah itu.

Sampulnya yang terbuat dari kulit tebal dan berwarna coklat tua telah mengalami usia yang panjang. Di bagian depannya, terdapat embel-embel emas yang berkilauan, menunjukkan keanggunan dan keberlian dari masa lalu. Ketika buku itu dibuka, aroma kuno yang khas segera menyergap, mengingatkan pembacanya akan sejarah yang telah lama berlalu.

Halaman-halaman di dalamnya diisi dengan tulisan tangan yang rapi dan indah, mencatat setiap detail tentang Pulau Mirari, mulai dari silsilah raja-raja yang memerintah, catatan peristiwa penting, hingga legenda-legenda kuno yang menghiasi kehidupan masyarakat pulau itu. Setiap halaman adalah jendela menuju masa lalu yang mempesona, mengungkapkan kehidupan yang telah berlangsung selama berabad-abad di pulau itu.

Buku itu menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang Pulau Mirari, menyimpan segala sesuatu mulai dari perubahan politik, ekonomi, hingga budaya yang terjadi di daratan yang megah itu. Seiring waktu berlalu, buku itu tetap menjadi sumber pengetahuan yang tak ternilai bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang kekayaan dan keindahan Pulau Mirari.

"Kau rupanya di sini, Runa."

Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kayu besar di mana seorang perempuan duduk dengan pakaian kasual kuno, tenggelam dalam bacaan dari buku kuno yang dipegangnya.

Pakaian perempuan itu terdiri dari kemeja kain tebal yang dipadukan dengan rok panjang, menciptakan penampilan yang serasi dengan suasana klasik perpustakaan. Di tangannya, dia memegang sebuah buku kuno yang tebal dan usang, dengan seriusnya menelusuri setiap halaman dengan tatapan yang penuh perhatian.

Wajahnya yang serius mencerminkan konsentrasinya yang mendalam, seolah-olah dia tenggelam dalam dunia yang tercipta di antara baris-baris tulisan di buku itu. Matanya yang tajam melintas dari satu kalimat ke kalimat berikutnya, meresapi setiap kata yang terpahat dalam kertas kuno itu.

Di sekitarnya, suasana perpustakaan tetap tenang, hanya terdengar suara halus dari kertas yang dilipat dan suara langkah kaki yang gemulai di lantai kayu. Perempuan itu sepertinya tak terganggu oleh kehadiran orang lain, terfokus sepenuhnya pada bacaan yang sedang dijelajahinya.

Dalam keheningan yang menghampiri, perpustakaan itu menjadi tempat yang sempurna bagi mereka yang haus akan pengetahuan dan kebijaksanaan, serta bagi mereka yang ingin tenggelam dalam dunia yang diciptakan oleh kata-kata yang terukir di dalam buku-buku kuno.

"Bagaimana kau menemukanku? Jangan bilang ayahku tentang ini, atau akan-"

Mulut perempuan itu dibungkam dengan potongan kue kering cokelat lezat tepat sebelum dirinya menyelesaikan kalimatnya.

"Hentikan omong kosongmu itu. Sejak semalam kau menghilang, Runa, kalau saja ayahmu tahu, bisa-bisa kepalaku sudah dipenggal dan dikubur hidup-hidup pagi ini."

Runa memandang seseorang dengan rambut pirang lengkap dengan kacamata bulat di hadapannya itu datar.

"Tuan Belivier." Runa bertitah. Si rambut pirang hanya menatapnya polos.

"Ada apa, Nona Raespati Yang Terhormat?" Hawkins mengambil napas dalam, berusaha menahan kesabarannya dalam menghadapi anak dari rekan kerjanya itu.

"Ada seseorang di belakangmu," ujar Runa, wajahnya tak mengekspresikan apa-apa.

Hawkins segera memalingkan wajahnya, dirinya was-was, ia segera memasang kuda-kuda, mulutnya komat-kamit membaca mantra.

"Tenang, Runa. Aku akan melindungimu-"

Mata Hawkins membulat sempurna, Runa menghilang dalam sekejap. Kepalanya menengok ke sana kemari mencari keberadaan perempuan itu. Dirinya sontak mengeluarkan sumpah serapah.

"Ah, sial! Aku ditipu lagi olehnya!"

0o0

"Selamat pagi, Runa-ku!"

Mata perempuan itu terpejam, padahal baru saja ia berhasil melarikan diri dari omelan Hawkins. Namun, kini masalah baru timbul kembali.

"Selamat pagi juga, Eugene."

Eugene Rowan, seorang pria gagah dengan aura yang menawan, telah lama menaruh perhatian pada Runa, primadona Kota Mirari. Meskipun sering kali ditolak mentah-mentah, semangatnya tidak pernah surut. Berpakaian kuno namun kasual, Eugene memancarkan pesona dari setiap gerakannya.

Rambutnya yang merah kehitaman terurai dengan indah, menciptakan kontras menarik dengan pakaian klasik yang dipilihnya. Matanya yang tajam menatap dunia dengan penuh keinginan dan tekad yang kuat. Meskipun memiliki kepribadian yang sedikit membuat orang jengkel, keberanian dan ketekunannya dalam mengejar cinta membuatnya terlihat luar biasa.

"Kau tahu, Runa, aku harus mengakui bahwa pagi ini terasa lebih cerah. Kau tahu kenapa? Itu karena kecantikanmu tidak bisa diabaikan, Runa. Bahkan matahari pun iri padamu har-"

Runa melangkahkan kakinya lebih cepat meninggalkan Eugene yang lagi-lagi mengeluarkan kata-kata konyol itu.

"Tunggu, Runa! Aku belum menyelesaikan kalimatku!"

Malang sekali, karena Runa kembali menghilang dengan cepat di khalayak ramai.

"Huh, aku lupa dia sangat gesit."

0o0

Sorot matanya tajam menelusuri tiap sudut kota, langkah kakinya cepat, rambut hitam legamnya menjuntai terbawa angin hingga sesekali menutupi wajah cantiknya. Sebuah buku tipis dengan sampul kulit digenggam kuat di tangannya.

Kedua kakinya terus mengayun menuju tempat tujuan. Kepalanya mendongak sedikit ke atas, pandangannya lurus. Langkahnya lambat memasuki bangunan tersebut.

Bangunan tua yang menjulang tinggi, terletak di tengah Kota Mirari, menawarkan citra masa lalu yang anggun dan kokoh. Di atas pintu masuk yang besar, sebuah papan nama dengan huruf-huruf yang terukir dengan indah menarik perhatian: "Mahawira Mirari".

Bangunan itu menyimpan aura keanggunan yang mengaburkan jejak waktu. Dindingnya yang terbuat dari batu bata merah tua telah mengalami berbagai cuaca, menghadapi berbagai tantangan zaman. Tetapi, fondasi yang kokoh dan kuat, masih mampu menjaga struktur yang megah.

Jendela-jendela besar dengan kisi-kisi besi berdiri kokoh, menyaksikan berbagai peristiwa sepanjang sejarah. Kaca-kaca yang terpasang di dalamnya mencermin kehidupan kota yang terus berubah. Di luar, ada lampu gas klasik yang tergantung di sisi dinding, memberikan cahaya lembut di malam hari, memberikan kesan hangat di antara kesan masa lalu.

Ketika seseorang melangkah masuk, aroma kayu dan lilin tua menyambutnya. Di dalam, terdapat ruang-ruang dengan meja-meja kayu besar dan kursi-kursi yang kokoh. Pada dinding-dindingnya, terpampang gambar-gambar pahlawan masa lalu, bersama dengan prinsip-prinsip keadilan dan ketegasan yang selalu dipegang teguh oleh Mahawira Mirari.

Bangunan itu adalah lambang dari masa lalu yang gagah dan kuat, menawarkan penghormatan kepada tradisi dan sejarah, sementara tetap menjadi bagian penting dari kehidupan dan keamanan di Kota Mirari.

"Ah, kau sudah datang, Nona. Mari ikuti saya," tutur salah satu Mahawira yang bertugas di depan.

Runa tak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri membuat Mahawira itu mengerutkan keningnya.

"Nona?"

"Sampaikan saja langsung padaku di sini." Runa berkata.

Mahawira itu bertukar pandang dengan temannya yang lain, meminta bantuan. Namun sepertinya petugas yang lain tidak mau ikut campur dengan masalah yang berhubungan dengan perempuan bernama Runa ini.

"Tidak ada? Baiklah, aku akan pergi jika tidak ada yang ingin disampaikan-"

"Raespati Aruna."

Sekejap ruangan terasa dingin dan mencekam. Seseorang dengan pangkat tertinggi telah turun tangan.

Runa berdecak pelan begitu mendengar suara seseorang yang sangat ia kenal.

Perempuan itu berbalik dengan berat hati, wajahnya tetap ia jaga datar.

"Sungguh menyebalkan kau menyebutkan nama lengkapku seperti itu, Tuan Abhati."

0o0

"Aku rasa aku sudah menjelaskannya secara rinci. Dan dapat dipastikan bahwa aku tidak bersalah di sini."

Malik memijit pelipisnya yang berdenyut. Di dalam sebuah ruangan, Runa dengan seorang perempuan paruh baya didudukkan di satu ruangan yang biasa disebut dengan ruangan investigasi.

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Tuan! Dia yang mencuri dagangan apelku! Saat itu aku sedang menghitung apel yang telah terjual habis dan aku lengah lalu mendadak semua apelku menghilang, dan aku melihatnya memakan apelku dengan santai di depan kedaiku!"

Perempuan paruh baya itu terlihat yakin, amarahnya membludak, tangannya sampai menunjuk-nunjuk pada Runa seakan ingin menerkam Runa saat itu juga.

Para mahawira yang melihat tampak panik, segera melerai dan menenangkan sang perempuan paruh baya.

"Tenangkan dirimu, Bu! Ini Kantor Mahawira!"

Malik memandang keduanya satu-persatu. Helaan napasnya terdengar.

"Aruna. Lebih baik kau meminta maaf saja."

Alis Runa terangkat, ada perasaan tidak terima dalam hatinya. Namun, situasi saat ini tidak akan mendukung egonya dan alhasil Runa mengalah.

"Baiklah. Karena suasana hatiku sedang baik hari ini, aku akan mengalah."

Malik tersenyum tipis dan menghela napas lega. "Bagus-"

"Tapi, aku tetap tidak akan meminta maaf. Kau bodoh, Nyonya, anakmulah yang mengambil semua dagangan apel itu di saat kau lengah dan kau tidak menyadarinya. Dan, soal aku apel yang aku makan itu, aku beli di tempat lain, Nyonya Yang Terhormat. Kau pikir hanya kau satu-satunya orang yang menjual apel di kota ini?"

Kalimat panjang itu diucap dengan satu napas oleh Runa. Dirinya berdecak, melipat tangannya di depan dada, mengangkat dagunya angkuh.

Seketika senyuman Malik pudar. Ia meringis ketika melihat tanda-tanda sang perempuan paruh baya tampak ingin mengeluarkan amarahnya kembali.

"KAU-"

Dalam kedipan mata, Runa menghilang.

Seluruh orang dalam ruangan terpaku.

Malik menepuk dahinya, "Dasar anak itu!"

0o0

"Raes-"

"Berhenti mengintimidasiku dengan menyebut nama lengkapku."

Kekuatan magisnya tertahan. Dan hanya sang ayah yang dapat melakukannya.

"Baiklah. Mari kita kesampingkan masalah pencurian apel tadi. Ada hal yang lebih penting. Jadi, ceritakan padaku apa yang sedang kau selidiki kali ini?"

Runa menatap sinis, "Jika aku membicarakannya pun, itu tidak akan membantu penyelidikanku. Percuma saja."

Brigadir Jendral Abhati. Sosok yang gagah dan berwibawa, dengan postur tubuh yang kokoh dan langkah tegap yang memancarkan kepercayaan diri. Wajahnya yang maskulin dipenuhi dengan bekas luka yang menjadi saksi dari berbagai pengalaman dalam dinas kemahawiraan. Meskipun tampak keras dan tegas dari luar, di dalam hatinya terdapat kelembutan dan kasih sayang yang mendalam, terutama untuk satu-satunya anak perempuannya, Raespati Aruna.

"Baiklah, sayang. Ayah tidak akan memaksamu sekarang. Tetapi, kau tidak boleh menghilang seperti yang kau lakukan barusan. Citramu akan dinilai buruk, dan kau sendiri yang akan mendapat masalah," papar Jendral Abhati.

Runa menatapnya datar, ia beranjak. "Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku izin pamit."

"Lepaskan mantramu."

Jendral Abhati mengalah. Ia menjentikkan jarinya dan membiarkan kekuatan magis Runa kembali berlangsung.

Dan untuk kesekian kali Runa menghilangkan dirinya dalam sekejap.

Satu tarikan senyuman tipis terpancar di wajah Jendral Abhati. Sedetik kemudian air wajahnya berubah menjadi aura mencekam.

"Tetap awasi dia."

0o0

Pikirannya dipenuhi oleh gelombang-gelombang kekesalan dan amarah masih menyelimuti dirinya yang membuatnya sulit berkonsentrasi. Ketika kekacauan dalam pikirannya mencapai puncaknya, tanpa sadar, Runa menemukan dirinya berada di tempat yang asing dan tidak dikenal baginya. Ia berdiri di ujung sebuah jalan yang terang benderang oleh lampu-lampu jalanan, namun suasana sekitar terasa sepinya.

"Sial! Ini terjadi lagi," umpat Runa menggusar rambutnya. Perempuan itu mengigit bibirnya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling berharap ada seseorang yang bisa ia tanyai.

Di tengah gelapnya malam yang hanya diterangi oleh cahaya lembut bulan, Runa meraba langkahnya dengan hati-hati di sepanjang jalan yang sepi. Setiap langkahnya terasa ragu, sementara angin malam yang sejuk menggigit kulitnya yang terbuka. Namun, di kejauhan, sebuah bangunan terlihat, menawarkan sedikit harapan di dalam kegelapan.

Runa mendekati bangunan tersebut, hatinya berdebar-debar saat dia melihat papan nama yang terpampang jelas di atas pintu masuk: "Toko Buku Pra'." Cahaya samar di dalam toko menarik perhatiannya, dan meskipun ragu, rasa ingin tahu yang besar mendorongnya untuk melangkah masuk.

Pintu berderit dengan gemerincing bel berbunyi ketika Runa membukanya, memperkenalkan dirinya ke dalam dunia baru yang terbentang di dalam. Cahaya gemerlap lampu-lampu kecil memantulkan bayangan-bayangan di rak-rak penuh dengan buku-buku yang teratur. Suara halus kertas yang terlipat dan aroma harum buku lama mengisi udara, menciptakan atmosfer yang menenangkan di dalam toko itu.

Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan, Runa merasa seperti dia telah menemukan tempat yang tepat di tengah kegelapan malam. Di antara buku-buku yang tertata rapi, dia merasa seperti ada sesuatu yang menunggunya, sebuah petunjuk yang mungkin bisa membawanya keluar dari kebingungan yang menghimpitnya.

Dengan langkah yang mantap, Runa menjelajahi setiap sudut toko, menyelami dunia yang terbentang di antara halaman-halaman buku. Meskipun kegelapan masih menyelimuti jalannya, Runa merasa seperti dia telah menemukan sedikit cahaya di dalam toko buku yang misterius itu.

"Selamat malam. Sedang mencari buku apa?"

Jantung Runa hampir lepas. Mulut dan tangannya spontan mengeluarkan mantra sehingga seseorang yang memanggilnya tiba-tiba itu terhempas jauh dan menubruk rak-rak buku yang perlahan jatuh.

Runa segera menahan rak yang lainnya dengan tangan kirinya dari kejauhan dan merapikannya kembali semula. Seseorang yang diyakini adalah laki-laki itu terduduk dan terbatuk seraya memegangi perutnya. Orang itu terbelalak, tatapannya menatap Runa tajam.

Runa berlari menghampiri, ia berlutut, membantu orang itu berdiri.

"Aku tidak bisa melihat dengan jelas dalam kegelapan, maafkan aku, Tuan. Kau tidak apa-apa?"

Tangan Runa ditepis oleh orang itu yang berjalan menjauh mencari topangan bagi tubuhnya yang tidak kuat berdiri.

"Apa masalahmu?! Shit! Toko bukuku!" Rahang orang itu mengeras, sementara pandangannya tampak putus asa melihat rak-rak bukunya yang perlahan ambruk.

Runa merasa tidak enak hati, ia melangkahkan kakinya mendekat.

"Jangan mendekat!" titah orang itu keras.

Runa menahan langkahnya. Detik setelahnya, mata Runa memicing, mengerutkan keningnya. Sebuah cairan merah mengalir dari pelipis orang itu. Mata Runa sontak membulat sempurna, gadis itu melesat cepat, menahan darah merah yang terus mengalir dengan kain pribadinya. Tangannya bergetar hebat. Orang itu telah kehilangan kesadarannya.

"Kau... non-ambrosè?!"

0o0

Tiap detail kecil yang kutulis selalu membuahkan sebuah petunjuk :)

Sampai bertemu lagi!

- Mehasha

Comment