01 - Pendatang Baru

"Selamat datang kepada semua pendatang baru. Dunia menantikan jejak yang akan kamu tinggalkan."

Selamat Datang Para Petualang!

Kisah ini dikemas baik dengan polesan fenomena keajaiban, ilmu sihir, serta sedikit bumbu-bumbu asmara di dalamnya :)

Maka, nikmatilah setiapnya di petualangan ini, ya!

Selamat Membaca!

***

Di ujung jalan yang sunyi, tampak bangunan tua masih berdiri gagah di antara bangunan lainnya yang telah lapuk dan usang. Seolah-olah terlupakan oleh waktu, papan nama dengan tulisan "Toko Buku Pra" yang tergantung di atas pintu masuknya tampaknya telah melalui segala macam cuaca dan musim, hampir rubuh dan pudar oleh paparan sinar matahari dan hujan. Huruf-huruf yang dulu mungkin berwarna cerah, kini hampir tidak terbaca, menyisakan jejak-jejak masa lalu yang pudar. Cat luarnya lusuh bersisik mengelupas dari dinding batu-bata merahnya. Dua jendela besar di sisi kanan dan kiri berkusen kayu kuno memancarkan cahaya keemasan dari dalam, menimbulkan bayangan di jalanan yang sepi.

Ketika langkah pertama menginjakkan kaki di ambang pintu. Udara kusam dan hangat menyambut, seisi ruangan langsung dipenuhi oleh aroma lembaran halaman kertas usang dengan harum yang khas. Dinding-dinding kayu tua mengelilingi ruangan, dilengkapi dengan banyaknya rak tua yang terisi penuh oleh buku-buku tua berdebu. Lampu redup tergantung di langit-langit, memberikan cahaya temaram yang menambah kesan misterius pada suasana. Sebuah meja kayu terletak tepat setelah pintu masuk, di atasnya terdapat dua buku tertumpuk, catatan pengunjung dan catatan peminjaman buku.

"Pra,"

Seseorang bertubuh jangkung yang tengah menatap nanar bangunan tua itu menoleh pada sumber suara. Netra hijaunya menjadi daya tarik utamanya, ia langsung menarik senyumnya lebar.

Di hadapannya, kini seseorang yang sama jangkungnya memandangnya datar, aroma khas kopi yang menggoda tercium dari arah plastik transparan berisikan dua gelas kopi berada dalam genggaman tangannya.

"Aku rasa, perbaikan bangunan tua ini sepertinya harus lebih maksimal."

Pemilik netra hijau itu berjalan menghampiri temannya, secara sadar tangannya mengambil salah satu kopi, memutar kenop pintu lalu memasuki toko buku miliknya itu. Suara kerincing dari sebuah bel di atas pintu berbunyi sebagai penanda pengunjung datang.

Temannya, Kale, bergerak mengambil kemoceng dan segera menghilang dari hadapan Pra yang masih kalut dalam dunianya sendiri.

Pra mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan hingga pandangannya terkunci pada suatu objek. Rak kayu bergantungan koran dan majalah edisi terbaru. Tangannya meraih salah satu koran, mengibasnya lalu membaca sekilas informasi seputar Kota Utama Mirari, Pulau Mirari. Tidak ada yang menarik, pikirnya. Tangannya langsung terhenti menaruh kembali koran itu tatkala menemukan dua kata yang kini sangat hangat dibicarakan masyarakat.

"...pembunuhan berantai?" gumamnya pelan.

Konsentrasinya buyar kala menyadari ada yang aneh dari suasana ruangan, terasa lebih redup dari sebelumnya. Pandangannya lalu beralih ke arah langit-langit, benda yang tergantung di atas sana itu berkelip beberapa kali. Sebuah kilatan kesadaran menyapu dirinya, menyadarkan dia bahwa bangunan tua yang telah disulap menjadi sebuah toko buku ini baru berdiri gagah sejak 1 bulan lalu. Jelas lampu-lampu lama itu belum diganti olehnya.

"Kale, aku pergi sebentar!"

Pra bergegas pergi.

0o0

Kaki jenjang milik Pra membuat dirinya sedikit lebih cepat dalam mencapai suatu tujuan, salah satunya, Pasar Lavena. Letaknya tak jauh dari toko buku miliknya berada, namun pasar ini lebih kelihatan ramainya dibanding tokonya. Bagaikan kantong Doraemon yang serba ada, Pasar Lavena dapat dikatakan memiliki apa saja yang dibutuhkan. Para pedagang menjual berbagai hal, dimulai dari makanan, minuman, baju, perhiasan, tongkat sihir, sapu terbang, alat sulap, bahkan pakar cinta pun ada.

"Ah, kau si pendatang baru itu, bukan?" Seseorang menghampiri dirinya. Pra mengangguk, membalas jabatan tangan orang tidak dikenal itu.

"Ah, iya, namaku Prabu Pangestu. Kau bisa memanggilku Pra. Aku adalah pemilik toko buku di arah-"

Seseorang itu segera menyanggah, "Ya-ya, aku tahu. Di daerah ini siapa yang tidak mengenalmu?" Ditepuknya bahu Pra, mengakrabkan dirinya.

Pra memiringkan kepalanya, pertanda ia sedikit bingung. Lantas dijawab cepat oleh orang itu.

"Karena kau tampan, Bodoh. Semua wanita mengagumi dirimu. Wah, betapa beruntungnya aku bisa akrab denganmu."

Kedua alis Prabu terangkat bersamaan, dia melepas jabat tangan keduanya, melipat kedua tangannya di depan dada. Berdeham sedikit. Badannya agak condong ke depan. Rasa penasaran menghampirinya.

"Benarkah? Wah, aku tidak tahu bahwa aku seterkenal itu di sini, padahal baru 3 bulan aku di sini." Pra tertawa sedikit, berusaha menahan kesombongan dalam dirinya, melihat ke arah sekelilingnya. Memang benar. Tak sedikit yang mencuri lirikan padanya. Menyadari hal itu, Pra dengan jahilnya menghadiahi lirikan itu semua dengan sebuah kedipan mata genit ditujukan pada wanita-wanita itu.

"Aku Hawkins, omong-omong. Hawkins Belivier. Senang bisa akrab denganmu, Pra."

Pembicaraan keduanya terus berlanjut, pembicaraan omong kosong yang berisikan betapa seringnya Pra dijadikan bahan omongan karena memiliki wajah tampan. Hingga pada akhirnya Pra baru menyadari bahwa tujuan utamanya ke sini adalah mencari sesuatu untuk perbaikan tokonya.

"Kau tahu toko yang menjual bohlam lampu terbaik di sini?"

Hawkins mengangguk, ia mengarahkan tangannya guna menunjukkan jalan. "Memang agak jauh di sini, tetapi, di kota ini, toko itu merupakan satu-satunya yang menjual berbagai macam lampu."

"Sayang sekali aku tidak bisa mengantarmu. Aku harus mengurus tokoku dahulu di pasar. Sampai jumpa, Pra."

Pra benar-benar ditinggalkan sendiri, ia menggaruk tengkuknya, melangkah ragu. Seharusnya ia membujuk Kale ikut serta tadi, sehingga ia tidak seperti orang dungu di tengah ramainya pasar.

"Si Hawkins itu tadi menujuk ke arah sana. Benar. Hanya jalan lurus, lalu sampai!" bisiknya pada diri sendiri.

0o0

Di balik tirai senja, kota terbawa dalam naungan malam yang misterius. Langit yang sebelumnya berwarna jingga dan merah muda kini berubah menjadi latar belakang yang gelap, hampir seperti kanvas hitam yang menampung kejutan-kejutan yang akan datang. Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, menyinari jalan-jalan yang ditinggalkan oleh keramaian siang hari.

Beruntung Pra berhasil mendapatkan barang yang dibutuhkan, kedua tangannya penuh barang belanjaan. Kaki panjangnya terus menelusuri kota, melewati beberapa toko yang sebentar lagi tutup. Menyapa seluruh orang yang melewatinya. Dan berakhir sampai di depan toko buku miliknya itu.

"Kau membawa apa?"

Pembicaraan antara keduanya dibuka oleh satu pertanyaan itu. Pra kembali pada singgasananya yang berada di belakang ruang utama toko, kerap disebut sebagai "tempat perisitirahatan karyawan". Hari sudah memasuki malam, toko sudah ditutup dengan baik, kini giliran mereka untuk meregangkan badan yang pegal setelah banyaknya pekerjaan.

"Lihat saja sendiri." Pra asal menjawab.

Kale tampak tidak masalah, pria itu membuka kantong kertas itu, mengeluarkannya serta menaruh benda-benda itu di atas meja.

"Pra, kau tahu sesuatu?" Kale sengaja menggantung kalimatnya. Pra hanya membalasnya dengan dehaman

Toples kaca tak terlalu besar berisikan kue jahe terlihat lebih menggoda di mata Pra. Begitu tutup toples dibuka, aromanya yang kuat menyelinap ke dalam hidung, mengunggah selera. Rasa manis gula tercampur dengan sensasi pedas jahe yang hangat, menciptakan perpaduan yang sempurna antara manis dan pedas.

Kale duduk di sofa berhadapan dengan Pra yang duduk di kursi besar, hanya sebuah meja oval sebagai penghalang mereka.

"Aku membaca berita baru-baru ini-"

"Ah iya! Aku juga," sanggah Pra mendadak bersemangat. Namun nyalinya langsung ciut melihat wajah Kale yang tidak bersahabat. Satu fakta mengenai Kale, pria itu pantang sekali dengan orang yang tidak menghargai orang lain berbicara.

"Biarkan aku memulai kalimatku, Pra."

Pra beringsut, fokus dengan kue jahe yang kini hanya setengah toples. Memberikan ruang untuk Kale berbicara.

Selembaran koran Kale taruh di atas meja, membuka halaman berita yang dimaksud.

"Apakah kau menyadari adanya kejanggalan terhadap semua berita itu?"

Pra menyeruput habis kopinya, mengibaskan kedua tangannya satu sama lain menyingkirkan remah-remah kue jahe yang mungkin tertinggal. Dirinya beranjak mendekat, duduk di tangan sofa lapuk itu santai, kedua lengannya melipat di depan dada.

Ia mengangguk, "Tentu, aku menyadarinya. Tapi tidak usah diambil pusing, Kale, ini di luar kendali kita. Mau bagaimanapun kasus itu sudah berlangsung lamanya, dan pelakunya tidak kunjung ditemukan."

"Aku tidak peduli." Kale berdiri, ada rasa tidak senang dalam hatinya.

Pra cuek saja, tubuhnya terhempas begitu saja di atas sofa, perlahan kedua matanya tertutup dan mulai memasuki dunia mimpi.

0o0

Permukaan cerita telah berhasil kalian selesaikan! Terima kasih, harap terus meneruskan langkah kalian hingga babak akhir, ya!

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

- Mehasha

Comment