25. Mereka Bukan Hantu

Kini kota Bandoeng tengah dipeluk gelapnya malam. Ketika hampir semua orang terlelap dibalik selimutnya masing-masing, di salah satu rumah sederhana terlihat seorang gadis tengah termenung dibalik daun jendela yang terbuka. Wajahnya yang manis semakin menarik terkena sorotan cahaya rembulan.

"Ma, Riri mau pulang" Lirihnya pelan.

Tanpa suara, Batari sesekali menghela nafas beratnya yang terhembus dan berbaur dengan udara malam. "Ma, Riri engga kenal sama siapa-siapa disini kecuali Hansen. Tapi.. dia kayak engga peduli sama Riri"

Ingatan Batari seakan tertarik ke hari dimana dirinya pindah ke rumah peninggalan dari keluarga ayahnya. Disana ia bertemu dengan pria tampan nan ramah yang kini justru bersikap dingin padanya. Padahal dulu begitu hangat.

Nama saya Hansen Terheide De Vries

Suara itu, senyuman itu, gestur tubuh itu. Batari masih ingat gerak-gerik dimana Hansen memperkenalkan diri ketika hari pertama mereka bertemu. Begitu hangat dan manis tapi sekarang sikap pria itu sedingin es.

"Hansen, kenapa kamu lupa sama aku?" Gumam Batari lesu.

Tanpa disangka, selama Batari mengeluarkan keluh kesahnya. Dibalik dinding teras depan sana ada seorang pemuda duduk si kursi bambu sembari merokok dengan tenang, menikmati kepulan asap rokok yang menyapa wajahnya. Tak lama kemudian ada gadis berambut pirang keluar melewati pintu depan yang memang masih terbuka.

Gadis yang memakai gaun tidur putih itu menoleh ke arah sang kakak yang balik memandangnya. Ketika hendak berbicara, pemuda yang hanya mengenakan kaos singlet putih dan celana katun panjang itu menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. Mengisyaratkan agar adiknya jangan berisik.

Diberi isyarat begitu gadis tersebut mengangguk mengerti. Dia adalah Fleur. Sedangkan sang kakak segera mematikan rokok ketika adiknya itu duduk tepat disebelahnya.

"Hansen, Batari berubah" Adunya pelan.

Hansen. pemuda jangkung itu berdeham pelan sambil membenarkan posisi duduknya. "Lalu?" Tanyanya acuh.

Fleur menyerngit menatap kakaknya sewot. "Dari nada bicaramu, apa kamu masih marah padanya?"

Hansen terkekeh pelan. "Fleur-"

"Lia!" Potong Fleur cepat. "Ini bukan rumah Papa, jadi kamu panggil seperti biasa saja" Sungutnya.

Lagi-lagi Hansen hanya terkekeh pelan. Itu benar. Di kediaman De Vries, adiknya ini memang dipanggil Fleur. Tapi jika di rumah sang ibu, gadis itu lebih suka dipanggil nama tengahnya. Lia. Diambil dari Adelia. Menurut Fleur, nama itu terdengar lebih merakyat dengan pribumi.

"Lalu bagaimana sekarang?"

Hansen menoleh. "Apanya?"

Fleur berdecak pelan lalu duduk menghadap kakaknya sambil memasang tampang kesal. "Batari tidak mengingat kita, dia hanya ingat kamu. Maka dari itu sudahilah marah kamu"

Hansen terdiam sesaat lalu bangkit dari posisi duduknya. Ia tersenyum tipis sembari menepuk puncak kepala adiknya. "Tidurlah. Besok kita cari alasan untuk Papa"

Fleur mendengus sebal ketika Hansen malah mengabaikannya dan masuk ke dalam rumah begitu saja. Benar juga apa kata kakaknya itu. Mereka harus cari alasan kenapa pergi ke rumah ibunya tanpa izin, apalagi sampai menginap.

*****

Hari ini tepat pukul tujuh pagi, Batari baru bangun dari tidurnya. Maklum saja dia baru bisa terlelap pukul dua malam tadi. Kalau ibunya tahu dia bangun jam segini, bisa-bisa dilempar panci. Ah, sial. Jadi ingin pulang.

Kriet.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka perlahan dan menampilkan William yang langsung masuk ke dalamnya. Anak itu naik ke atas ranjang dan duduk bersila di hadapan Batari. Tak bicara beberapa saat, hanya saling pandang sampai..

"Sudah ingat Wil?" Tanyanya kemudian.

Batari menaikkan sebelah alisnya lalu menggeleng. "Kamu Wil?"

Ditanya begitu William tersenyum lebar, sampai menunjukkan giginya yang ompong. "Iya, ini William!" Tunjuknya pada diri sendiri. "Ini Batari" Lanjutnya menunjuk Batari.

Ini seperti mimpi. Entahlah yang di hadapan Batari ini hantu atau orang. Jika benar ini tahun 1941, berarti anak laki-laki yang rupanya sangat mirip dengan William dimasanya adalah hantu? Berarti Hansen juga hantu? Dan semua orang yang hidup dimasa ini adalah hantu? Jadi, Batari hidup dengan hantu? Atau bagaimana? Astaga.

"Batari"

"Iya?" Batari tersadar dari lamunan ketika William memanggilnya.

"Ayo sarapan!" Ajak William sembari menarik tangan Batari agar turun dari ranjang.

Batari yang tidak tahu harus bagaimana hanya mengikuti William yang mengajaknya menuju meja makan. Ternyata disana sudah ada Kartika, Fleur, dan Hansen. Juga seorang babu yang menyiapkan beberapa menu makanan.

Ketika tahu Batari muncul, Fleur terkekeh pelan. "Manis seperti biasa"

Hansen yang sedang mengambil roti, mengalihkan pandangannya pada objek yang Fleur lihat. Tanpa sadar pandangannya langsung terpaku pada rambut Batari yang tergerai bebas. Pemuda yang masih mengenakan kaos singlet itu berdeham pelan dan kembali fokus pada sarapannya.

"Sini Neng, emam heula" Ajak Kartika untuk sarapan bersama.

"Calik didieu, caket Lia" Seru Fleur menarik Batari agar duduk disebelahnya.

Sementara William dengan sigap segera duduk di hadapan Fleur. Sedangkan Hansen yang duduk di hadapan Batari sunyi senyap sembari memakan roti gandum kesukaannya, tanpa mempedulikan apapun lagi.

Batari terlihat canggung dan was-was. Masa iya sekarang dirinya sedang sarapan dengan keluarga hantu? Tapi kalau hantu kenapa kaki mereka semua menapak jelas ke lantai? Mereka juga dapat menyentuh benda dengan solid, perwujudan mereka juga tidak menerawang. Persis seperti manusia pada umumnya.

"Kamu sedang apa?" Sewot Hansen.

"Eh?" Batari terdiam ketika kepergok sedang memandangi gerak-gerik mereka satu persatu. "Bukan hantu kayaknya" Gumamnya pelan.

"Hantu?" Ulang Fleur lugu.

"Hantu?" Sambung William.

Hansen berdecak pelan sambil menaruh roti yang sedang disantapnya. Kemudian ia memandangi Batari dingin. "Hentikan tingkah aneh itu. Kamu pikir menyenangkan membuat semua orang khawatir?!"

"Hansen, sudah" Lerai Kartika lembut. Ia berucap begitu karena makin sini, nada bicara Hansen semakin tinggi.

"Menyusahkan" Sindir Hansen berlalu dari meja makan.

Kini suasana menjadi semakin canggung dan hening. Astaga. Sepertinya sikap Batari sudah berlebihan sekarang. Tapi apa salahnya? Dia kan hanya mau memastikan saja.

William melipat kedua tangan mungilnya di depan dada. "Hansen marah terus, Wil tidak suka!" Ucapnya sembari memasang wajah kesal.

Fleur setuju dengan adiknya, sambil menyantap sereal ia mulai berkomentar. "Benar, Hansen kekanakan kalau masih marah pada Batari"

"Marah? Kenapa?" Tanya Batari bingung. Jadi ternyata Hansen bersikap dingin begitu ada alasannya.

Kartika tertawa pelan sambil mengambil nasi. "Sudahlah, anak laki-laki memang begitu. Neng kan manis, jadi wajar saja banyak yang antri. Seeur saingan"

Ha? Banyak saingan? Isi kepala Batari semakin kusut mendengar penjelasan Kartika yang sebenarnya tidak jelas. Hingga akhirnya mereka harus sarapan tanpa Hansen. Setelah sarapan selesai dan masing-masing dari mereka sudah membersihkan diri. Fleur terlihat senang dengan hasil kerjanya.

"Selesai!" Fleur menyampirkan satu kepangan rambut Batari ke bahu kiri gadis tersebut.

Batari memperhatikan pantulan diri pada cermin di hadapannya. Rambut dikepang satu dan kebaya gading polos serta kain jarik batik menghiasi tubuhnya yang ramping. Tidak buruk.

"Ih, meni geulis" Kekeh Fleur memuji tampilan Batari.

Sedangkan yang dipuji tak merespon apapun. Kalau boleh sombong sih memang dirinya cantik. Hahaha. Kemudian Batari menoleh pada Fleur. "Tampilannya emang gini ya, kak?"

Fleur mengangguk. "Dan jangan panggil saya kakak lagi, kamu itu lebih tua tiga tahun dari saya"

Tak lama kemudian William masuk dengan semangatnya. "Batari! Ayo kita main keluar!!" Ajaknya sambil menarik lengan Batari.

Akhirnya Batari dan Fleur menemani William main di depan pekarangan rumah Kartika. Anak berambut pirang itu terlihat asyik sendiri dengan balon cair buatan pembantunya. Sedangkan Batari dan Fleur duduk ditepi teras.

Batari baru menyadari kalau rumah disekitarnya masih terbuat dari kayu dengan jarak yang lumayan jauh. Belum lagi disini masih banyak kebun dan kandang hewan ternak. Seperti pemandangan di pedesaan.

Selama itu juga Fleur menjelaskan tentang Batari dan segala hal disekitarnya. Fleur bilang kalau Batari adalah teman semasa kecilnya dan juga Hansen. Fleur juga bilang kenapa Kartika begitu menyayanginya seperti anak sendiri, karena wanita itu punya hutang budi pada keluarga Batari yang sudah tiada.

Namun ketika dulu Kartika hendak mengangkat Batari sebagai anak, suaminya yang bernama Thomas De Vries tidak setuju. Pria itu bilang tidak boleh ada orang lain di keluarganya selain keturunan mereka sendiri. Agar Batari tidak dijauhkan darinya, maka Kartika menjadikan gadis tersebut sebagai pengasuh William.

Dengan begitu, Kartika masih bisa memantau dan memberikan fasilitas yang manusiawi walau status Batari adalah seorang babu. Hal itulah yang membuat Batari dijauhi dan dicibir oleh beberapa orang sebangsanya. Karena statusnya yang menjadi babu sang gundik.

Setelah mendengar semua penjelasan dari Fleur, Batari hanya bisa terdiam. Seakan mencoba meresapi peran yang akan ia jalankan mulai detik ini. Pada masa ini. Ketika menoleh ke belakang, ternyata disana ada Hansen yang tengah memperhatikan mereka dari daun jendela sembari menopang dagunya. Kini tatapan mereka berada dalam satu garis lurus. Tak ada yang berucap, hanya saling lempar pandang.

"Mereka bukan hantu, semuanya.. nyata"

*****

Wakakakak meskipun cuma satu dua orang ternyata masih ada dong yang baca cerita ini, dikira menganggur begitu saja. Yasudah sesuai permintaan lanjut yookkk.

*****

reginanurfa
-30122023-

Comment