09. Pertanda Kedua

Di sebuah pendopo kecil, terlihat empat orang anak sedang berkumpul. Mereka duduk bersidekap sembari mengelilingi sebuah kotak kayu di hadapannya. Tiga anak laki-laki dan satunya gadis kecil. Dua memakai blangkon, satu berambut pirang, dan yang si gadis berkucir dua. Mereka berempat saling lempar pandang, terlihat bingung apa yang harus dilakukan.

"Aku bawa ini" Ucap anak kecil yang memiliki tahi lalat di bawah matanya. Ia memperlihatkan sebuah arloji tua.

"Saya bawa ini" Sambung anak berambut pirang memperlihatkan seikat bunga tulip berbagai macam warna.

"Dan aku tadaa!! Bawa ini!" Sahut anak kecil yang memakai blangkon lainnya seraya mengacungkan selembar foto.

Ketiga anak itu sudah memperlihatkan benda masing-masing yang dibawanya, tinggal satu yang belum. Mereka kompak menoleh pada gadis kecil yang hanya terdiam bingung. Ditatap begitu, si gadis berkucir dua tersebut malah ikut balik membalas tatapan heran.

"Kamu tidak bawa apa-apa?" Tanya anak berambut pirang.

Si gadis kecil menggeleng dengan lugunya. "Emanya Riri harus bawa apa?" Tanyanya semakin bingung.

Anak yang memakai blangkon merah menggaruk kepalanya, sampai-sampai blangkon yang dipakainya jadi miring. "Arsen bingung, Kangmas"

Sedangkan anak yang memakai blangkon kuning mengangguk mengiyakan. Ia ikut menggaruk ujung alisnya bingung. "Sama, Sen. Kangmas juga"

"Kamu tidak ingat mau bawa apa?" Tanya anak berambut pirang itu lagi.

Untuk kesekian kalinya si gadis kecil menggeleng. "Emang Riri harus bawa apa sih? Engga ngerti ih" Ulangnya mulai kesal.

Ketiga anak laki-laki itu kompak menarik nafasnya masing-masing cukup panjang. Kini anak yang memiliki tahi lalat di bawah matanya mengambil alih.

"Ya sudah ndak apa-apa, mungkin kelupaan. Sekarang kita bertiga dulu saja, nanti Batari menyusul" Jelasnya menengahi situasi yang mulai kisut.

Ketika yang lain tengah memasukkan perbendaan mereka ke dalam kotak kayu, kedua alis si gadis kecil menukik tajam sembari memandang ketiganya bergantian. "Sebenernya kalian siapa sih?" Tanyanya.

Heninglah sejenak. Ketiga tangan yang terulur, serentak membeku. Ketiganya juga ikut menaikkan sebelah alisnya bersamaan. Dari bingung, kini semakin bingung.

"Dari kemaren Riri tidur di rumah, terus bangun disini. Ketemu kalian lagi, padahal engga kenal. Riri pusingg! Riri cuma mau pulang! Engga mau bangun disini lagii!!" Pekiknya semakin kesal.

Mumetlah isi kepala mereka sekarang. Ketika sedang pusing-pusingnya, tiba-tiba muncul seorang wanita berkebaya emas. Dengan angkuhnya dia menatap keempat anak kecil yang duduk lesehan di lantai. Kemudian tatapannya terarah pada dua anak yang mempunyai paras begitu mirip.

"Kalian masih berteman dengan mereka?" Tanyanya seraya melirik si gadis kecil dan anak laki-laki berambut pirang.

"Namanya Hansen dan Batari" Jelas anak yang memiliki tahi lalat di bawah matanya.

Seakan tak ingin mendengar apapun, wanita itu memutar bola matanya malas. "Ya ya ya terserah, kalian masih bisa datang kesini sekarang. Tapi kalau aku sudah menjadi tuan rumah disini, jangan harap"

Seakan mengerti maksud ucapan wanita tersebut, salah satu anak kecil berdiri dan memasang tampang garang. "Arsen ndak mau punya Ibu galak! Arsen hanya punya satu Ibu! Namanya Retania!!" Pekiknya.

"Itu mah Mamanya Riri ih!!"

Gedebrug!!

"Akh, sakit.." Ringis seseorang setelah terjun bebas dari atas ranjangnya. Siapa lagi kalau bukan si ceroboh Batari.

Dengan rambut yang mengembang seperti singa, Batari mengelus kedua sikutnya bergantian sambil meiringis. "Ck, pake mimpi segala sih jadinya jatoh" Keluhnya.

Setelah rasa sakit mulai reda, Batari terdiam sambil menyugar rambutnya ke belakang. Lagi-lagi ia bermimpi aneh yang sama sekali tidak bisa diingatnya setelah bangun. Ia hanya bisa menarik nafas panjang sekarang. Mimpi beberapa hari belakangan ini seperti memiliki kelanjutan, tapi sama sekali tak bisa diingat. Padahal terasa begitu sangat nyata.

Tuk. Tuk.

Ketika masih anteng dengan pemikirannya sendiri, Batari menoleh ketika mendengar sebuah suara yang berasal dari arah jendela.

Tuk. Tuk.

Suara itu datang lagi, ketika dihampiri ternyata ada beberapa batu kecil yang dilempar tepat ke kaca jendela kamarnya. Perlahan Batari buka jendela dan melihat siapa yang ada di bawah sana. Ternyata itu adalah tetangganya. Pemuda berambut pirang tersebut terkekeh pelan ketika tertangkap basah hendak melempar batu lagi.

"Hansen?"

Pemuda itu melambaikan tangannya pada Batari. "Selamat pagi" Sapanya.

Batari tersenyum sambil membalas lambaian tangan tentangganya itu. "Pagi jugaa!! Bentar ya, aku turun dulu"

Dengan langkah ringan seperti bulu terbawa angin, Batari menuruni tangga dengan cepatnya. Masih memakai pakaian tidur dan rambut tergerai, senyumnya semakin lebar seiring semakin dekat dengan pintu.

"Yeeeyy, ketemu Hansen lagi hahaha" Gumamnya diselingi kekehan kecil.

Hingga akhirnya ia sampai di depan halaman. Namun Batari terdiam, senyumnya mulai luntur ketika tak menemukan siapapun disana. Aneh. Batari yakin tadi itu bukan mimpi. Sampai tak lama kemudian ada yang menepuk pundaknya dari belakang, ketika berbalik..

"Hansen!" Pekik Batari senang.

Sedangkan sosok yang namanya baru diabsen hanya tertawa pelan melihat tingkah Batari yang sepertinya tak pernah kehabisan energi. Ia tersenyum lembut seraya memandang bergantian manik coklat indah gadis di hadapannya.

Diperhatikan begitu membuat Batari malu sendiri. Ia mengulum senyum sambil memainkan jemari lentiknya. "Ih, kamu kenapa liatin aku kayak gitu? Aku cantik ya?" Tanyanya begitu yakin.

Hansen sedikit mencondongkan tubuh, lalu hidungnya mendengus perlahan. "Kamu.. bau"

Masam sudah wajah Batari. "Ih! Dikira mau muji, eh malah ngehujat" Cibirnya pelan.

"Hanya bercanda" Kekeh Hansen sambil kembali menegakkan tubuhnya. "Bagaimanapun kondisinya, kamu tetap cantik" Sambungnya menepuk pucuk kepala Batari sekilas.

Blush.

Masam kini terganti menjadi semu merah. Wajah Batari memanas ketika mendapat perlakuan manis barusan. Sedangkan si pelaku kini mengeluarkan setangkai bunga tulip kering dan usang dari balik punggungnya. Diberikanlah bunga itu pada Batari.

"Untukmu. Maaf tapi sudah layu"

Tanpa protes apapun, Batari menerima bunga tersebut. "Kenapa kamu ngasih bunga ini buat aku?" Tanyanya.

"Bukankah kamu menyukai bunga tulip?" Tanya Hansen balik.

Kini sebelah alis Batari mencuat bingung. Dirinya? Menyukai bunga tulip? Sejak kapan? Justru dia sama sekali tak menyukai bunga, apapun itu jenisnya. Tak ingin memperpanjang situasi canggung ini, Batari hanya mengangguk seraya tersenyum tipis.

"Makasih" Ucap Batari seadanya. "Oh iya, waktu itu aku mau anterin makanan buat kamu tapi kok rumah kamu kosong sih?" Tanyanya spontan.

Hansen terdiam sesaat lalu mengangguk pelan. "Oh, mungkin saya sedang berada diluar saat itu"

"Di rumah sama sekali engga ada orang? Emang orangtua sama sodara kamu pada kemana?" Tanya Batari mulai penasaran.

"Mereka sedang ada urusan masing-masing" Jawab Hansen sekenanya.

Batari mengangguk sambil menggembungkan kedua pipinya. Sepertinya Hansen tipe orang yang tidak terlalu terbuka, jadi baiklah cukup sampai disini Batari harus mengerem segala pertanyaan yang membuatnya penasaran.

Melihat sikap canggung Batari, Hansen kembali berucap. "Tapi jika kamu ingin bertemu mereka, saya akan mengajakmu ke rumah saya nanti"

Mendengar itu, wajah Batari kembali cerah. "Boleh?" Tanyanya semangat.

"Tentu" Singkat Hansen tersenyum. "Dan sebenarnya saya.. ingin bicara sesuatu dengan kamu" Sambungnya.

"Sesuatu? Naon?" Ulang Batari bingung.

Hansen mengangguk. "Hm. Saya.. butuh bantuanmu"

Batari mengerutkan dahinya. "Bantuan? Bantuan apa?" Tanyanya.

"Saya ingin-"

"DEEKK!!"

Batari mendengus ketika ucapan Hansen terputus gara-gara teriakan seseorang dan ia tahu betul siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan kakaknya yang menyebalkan. Benar saja, tak lama kemudian di balkon atas Lokamandala muncul.

"Dek, masuk ih! Tadi kakak masak nasi goreng tapi belum diangkat, cek dulu sana!" Seru Lokamandala sembari memakai jaket.

"Ck, kenapa engga sama kakak aja sih? Ganggu tau, engga liat orang lagi ngobrol apa!" Decak Batari kesal.

"Ngobrol apaan? Masuk dulu pokoknya! Kakak udah telat ngampus nih" Balas Lokamandala kembali masuk.

Setelah kembali berdua, Batari memandang Hansen. Ia merasa bersalah. "Maaf ya, Kak Okan emang perusak suasana. Terus tadi kamu mau bilang apa?"

Hansen menggeleng lalu tersenyum. "Lain kali saja, sepertinya nasi goreng lebih butuh bantuan kamu sekarang"

Batari semakin cemberut melihat Hansen tertawa kecil. "Ya udah, kalau gitu kita sambung nanti aja. Aku masuk dulu ya, bye!"

Hansen hanya tersenyum membalas lambaian tangan Batari. Setelah benar-benar sendiri, ia menghela nafas pelan seiring dengan senyuman dibibirnya luntur. Kini pandangannya terarah ke sebrang sana. Ke arah rumahnya yang terdapat dua sosok yang mengintipnya dari balik pohon.

"Belum saatnya" Gumamnya.

*****

Penasaran engga sama gambaran wajah dari setiap karakternya?

Saya bakal up ilustrasinya setelah hampir semua karakter keluar ya.

Oh iya, cuma mau ngingetin. Alur dari cerita ini maju mundur syantik, jadi hati-hati bacanya yaa.

*****

reginanurfa
-06042023-

Comment